dr. Abdul Mun'im dan Indonesia X-Files

Pertama kali melihat sosok dr. Abdul Mun'im Idries saat aku mencari rekaman program ILC TvOne terbaru di situs berbagi video Youtube. Kala itu, Bung Karni mengusung tema Melacak Misteri Kematian Sisca (akhir Agustus 2013) dan menghadirkannya sebagai salah satu interviewee. Kecuali itu, aku melihat sosoknya dan buku ini dari tayangan Mata Najwa bertema mirip, X-Files, tepat 9 hari sebelum ia wafat. 

(FOTO: sampul depan buku Indonesia X-Files)
Semenjak melihat Mata Najwa dengan tema itu, aku ingin sekali membaca buku ini. Apa daya, baru terkabul setelah ia wafat setengah tahun lebih. Itupun dengan susah payah meminta tolong pada teman di Indonesia untuk hunting buku ini dan menitipkannya pada teman yang kembali ke Kairo.

Buku ini mengisahkan sederet kasus-kasus lama yang ia coba kritik sesuai dengan tagline-nya: Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir.

Buku yang dibagi enam bab ini disampaikan dengan bahasa ringan meski kompleks sekali dengan istilah kedokteran, terlebih forensik. Namun, beberapa poin hampir pasti dijelaskan oleh penulis bahkan terkesan sering diulang seperti pada penjelasan "4 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemeriksaan Forensik". Selain itu, berkali-kali ia sebagai penulis menegaskan bahwa visum et repertum (keterangan dokter forensik) yang dibuat pada kasus "abu-abu" acap kali janggal, seperti tidak tepatnya penggunaan mekanisme kematian (perdarahan, mati lemas, syok, dll.) yang dikatakan sebagai sebab. Menurutnya, mekanisme kematian "perdarahan" (dalam hal ini kasus Marsinah) tidak bisa memberi petunjuk perihal alat/benda yang menyebabkan korban tewas.

"Di visum itu juga ditulis sebab matinya perdarahan. Itu mekanisme kematian. Sebab mati itu ditusuk, ditembak, dicekik. Mekanisme matinya bisa perdarahan, lemas, syok. Hakimnya bilang, dari dulu di situ begitu, Dokter. Saya jelaskan, 'nih Pak Hakim, orang TBC batuk-batuk darah, lalu mati. Laporannya bukan perdarahan, tetapi TBC, 'kan? Kemudian tetanus, kejang-kejang. Laporannya tetanus, 'kan? Sama saja.", begitu kutipan salah satu dialog dalam buku ini.

Selain menyajikan kasus-kasus semu, buku ini juga menyajikan bab tersendiri yang berisikan pengenalan dunia forensik, landasan hukum, dan beberapa ajakan persuasif untuk tidak menganggap autopsi (bedah mayat) sebagai proses yang tabu demi tegaknya keadilan.

Bagi pembaca yang sudah pernah mendengar gaya bicara dr. Abdul Mun'im Idries hampir pasti akan merasakan kuatnya kemiripan ulasan dalam buku ini dengan gaya tuturnya. Mengalir dan mengajak berpikir teliti. Membaca buku ini, seperti diutarakan salah satu rekannya di mukadimah, berarti juga melihat kepribadian penulisnya yang dinamis, sering ogah dikungkung aturan, dan oleh karenanya kerap terlihat nyeleneh

Pada mukadimah pertama, penasihat hukum ternama yang juga temannya, Prof. Dr. O.C. Kaligis juga menggambarkannya sebagai seorang yang memiliki pandangan dan sikap seperti filsuf Aristoteles terhadap filsuf Plato, "Amicus Plato, sed magis amica veritas"--Plato adalah sahabat saya, tetapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran.

Pada hampir semua ulasan kasus dalam buku ini, penulis bak Sir Arthur Conan Doyle dengan karyanya yang menjadi induk cerita bermazhab detektif: Sherlock Holmes, atau juga komikus Jepang Gosho Aoyama dengan Detektif Conan-nya. Hanya saja, buku ini benar-benar dari kasus nyata, rekam jejak seorang dokter forensik kenamaan Indonesia, dr. Abdul Mun'im Idries.

Sebagai makhluk tentu tak lepas dari kekurangan. Buku ini pun memiliki sisi kurang bagus. Misalnya pada beberapa tulisan di bagian akhir. Terdapat beberapa tulisan yang bukan merupakan tulisan dr. Abdul Mun'im Idries melainkan sejenis kliping dari harian nasional yang mengulas sosoknya dan kasus yang ditangani. Untuk menyangkal sedikit kekecewaanku pada buku ini, aku cari data lebih teliti di sampul depan dan belakang, juga beberapa keterangan yang mengatakan bahwa buku ini memang bukan 100% tulisannya. Tidak ada. Bahkan di keterangan copyright pun menyatakan bahwa hak kepenulisan ialah milik dr. Abdul Mun'im Idries. Mungkin ia memang sengaja menyertakan tulisan-tulisan dari surat kabar itu sebagai kliping dan data tambahan.

Begitu banyak kasus yang hingga kini masih belum tuntas dan malah ada yang hilang ditelan bumi. Melalui buku ini dr. Abdul Mun'im Idries mengungkapkan banyak fakta bahkan nama hingga detail kasus. Tak hanya sekali ia mengajak untuk kembali melakukan penyidikan secara teliti, untuk "melawan lupa" dan mengusut sampai benar-benar yang bersalah mempertanggungjawabkan kesalahannya. Sekarang, semua kembali pada kita yang masih hidup.

Akhir kata, buku ini layak sekali untuk dibaca seluruh elemen pemuda Indonesia terlebih mahasiswa hukum, kedokteran forensik, aktivis HAM, maupun sekadar pencinta Sherlock Holmes seperti sahaya.[]

Mu'hid Rahman | Kairo, 10 April 2014

Write a comment