Susah menceritakan bagaimana bisa memahami kebodohan. Tapi lebih susah lagi dipertemukan dengan yang berlapis dan sahibnya.
Kemarin, usai dari maktabah Al-Halaby, sebelum Miftah mentraktir kami makan di kawasan Bab Futuh, kami mampir salat di masjid Al-Hakim bi Amrillah, kota tua Kairo. Masjidnya dibuka bagian depan pintu saja. Di sana pun dijaga oleh 2 sekuriti yg memastikan masjid tak dimasuki kecuali oleh orang yang hendak sembahyang.
"Sudah wudu semua kan?", tanya salah satu dari keduanya yg sedang duduk di atas kursi. Ia seolah memastikan bahwa tempat wudu masjid ditutup.
Salatlah kami di karpet yg tak tampak diurus. Di tengah kami salat, suara kencang terdengar beriringan dengan langkah mendekat, "Ya Malizi! Ya Malaysia! Ayo cepat keluar.."
Entah berulang sampai berapa kali suara itu terdengar. Mengganggu sekali. Tapi, mungkin ia bodoh. Tidak tahu bahwa kami masih di situ masih dalam salat.
Ia juga mungkin tidak tahu bahwa kami ini bukan talib Malaysia. Dua kebodohan seperti itu pun saya maklumi. Toh mungkin saya juga sedang memaklumi kebodohan pada diri saya sendiri. Saya tidak tahu bagaimana bisa ada orang berlaku demikian itu.
Begitu selesai, kami bergegas keluar. Di pintu masuk itulah saya berpapasan dengan sahib suara yg tadi terdengar. Matanya melihat mata saya juga ke setiap dari kami. Rupanya ia bukan 2 sekuriti yg dari tadi masih duduk.
Mukanya bukan umumnya Mesir, pakaian yang disandang juga bukan, lantaran ia memakai penutup kepala khas Isma'ili dengan jubahnya, tapi logat Mesirnya kuat, "Malizi! Kamu pakai masker? Kamu Corona kah? Enggak Corona kan, kenapa pakai masker?!"
Bodoh sekali. Saya saat itu spontan menjawab lelaki yg tak memakai masker itu, "(kami pakai) demi menjaga diri! Al-Akhdzu bil asbab wajib! (mengupayakan sebab itu wajib)." Saya masih meneruskan tapi ia sudah berlalu.
Bukankah memakai masker di tahun-tahun pandemi seperti ini bagian dari upaya? Kalimat tanya ini saya telan sendiri karena ia telah berlalu bersama seorang Mesir lain yg mengacungkan jempolnya ke kami seraya tersenyum.
"Sudah wudu semua kan?", tanya salah satu dari keduanya yg sedang duduk di atas kursi. Ia seolah memastikan bahwa tempat wudu masjid ditutup.
Salatlah kami di karpet yg tak tampak diurus. Di tengah kami salat, suara kencang terdengar beriringan dengan langkah mendekat, "Ya Malizi! Ya Malaysia! Ayo cepat keluar.."
Entah berulang sampai berapa kali suara itu terdengar. Mengganggu sekali. Tapi, mungkin ia bodoh. Tidak tahu bahwa kami masih di situ masih dalam salat.
Ia juga mungkin tidak tahu bahwa kami ini bukan talib Malaysia. Dua kebodohan seperti itu pun saya maklumi. Toh mungkin saya juga sedang memaklumi kebodohan pada diri saya sendiri. Saya tidak tahu bagaimana bisa ada orang berlaku demikian itu.
Begitu selesai, kami bergegas keluar. Di pintu masuk itulah saya berpapasan dengan sahib suara yg tadi terdengar. Matanya melihat mata saya juga ke setiap dari kami. Rupanya ia bukan 2 sekuriti yg dari tadi masih duduk.
Mukanya bukan umumnya Mesir, pakaian yang disandang juga bukan, lantaran ia memakai penutup kepala khas Isma'ili dengan jubahnya, tapi logat Mesirnya kuat, "Malizi! Kamu pakai masker? Kamu Corona kah? Enggak Corona kan, kenapa pakai masker?!"
Bodoh sekali. Saya saat itu spontan menjawab lelaki yg tak memakai masker itu, "(kami pakai) demi menjaga diri! Al-Akhdzu bil asbab wajib! (mengupayakan sebab itu wajib)." Saya masih meneruskan tapi ia sudah berlalu.
Bukankah memakai masker di tahun-tahun pandemi seperti ini bagian dari upaya? Kalimat tanya ini saya telan sendiri karena ia telah berlalu bersama seorang Mesir lain yg mengacungkan jempolnya ke kami seraya tersenyum.
Kebodohan Berlapis
Di hari-hari wabah yg berkepanjangan ini, saya mulai memaklumi tiap orang yg tak memakai masker. Mungkin ia lupa, sedang makan atau berbicara, berkeperluan khusus, atau saya sendiri sebenarnya yang bodoh tentang hal-hal itu. Kemungkinan terburuk ya mungkin memang tabiat orang teledor saja. Toh, itu urusan dia sedangkan saya masih tetap berupaya.
Saya pun perlahan melihat masyarakat Mesir di ruang publik mulai berkesadaran. Kalaupun masih banyak ditemukan yg tak memakai masker, setidaknya kasus perundungan pada talib asing khususnya Asia, atau pada yg memakai masker sudah mulai tiada. Jauh dari suasana awal wabah ini menyebar hingga Mesir.
Nah, ini ada kasus orang tak pakai masker. Sebuah kebodohan yg saya sudah maklumi ternyata masih ia lapisi lagi dengan kebodohan lainnya: mempertanyakan kami yg bermasker.
Pada kebodohan yg terakhir itu saya merasa tak bisa memaklumi. Mungkin itu pula yg membuat saya reflek menjawab pertanyaan dungu itu.
Bodoh bisa diobati dengan ramuan sadar-diri dan koreksi. Kebodohan berlapis (al-jahl al-murakkab) atau yg saya sebut dungu bin ahmak rasa-rasanya kok tidak.
Saya pun perlahan melihat masyarakat Mesir di ruang publik mulai berkesadaran. Kalaupun masih banyak ditemukan yg tak memakai masker, setidaknya kasus perundungan pada talib asing khususnya Asia, atau pada yg memakai masker sudah mulai tiada. Jauh dari suasana awal wabah ini menyebar hingga Mesir.
Nah, ini ada kasus orang tak pakai masker. Sebuah kebodohan yg saya sudah maklumi ternyata masih ia lapisi lagi dengan kebodohan lainnya: mempertanyakan kami yg bermasker.
Pada kebodohan yg terakhir itu saya merasa tak bisa memaklumi. Mungkin itu pula yg membuat saya reflek menjawab pertanyaan dungu itu.
Bodoh bisa diobati dengan ramuan sadar-diri dan koreksi. Kebodohan berlapis (al-jahl al-murakkab) atau yg saya sebut dungu bin ahmak rasa-rasanya kok tidak.
Semoga Allah menghindarkan kita dari kedunguan berlapis dan sahibnya di dunia ini.
Write a comment
Post a Comment