Menjelajah Dua Muara Nil: Burullus (3)

Burullus
Setelah puas mengabadikan berbagaisisi di muara Dimyat, kami segera bergegas mencari-tahu bagaimana caranya menuju Rashid, sebuah kota kecil di provinsi Buhayra. Sudah entah berapa orang kami tanya, tak ada satupun yang memberikan jawaban yang tuntas.

FOTO bersama mercusuar aduhai di muara Nil - (cabang Dimyat).
Satu jawaban yang menurut kami paling tepat, “Coba kalian ke terminal terbesar di ujung Dimyat. Pastikan di sana.”

Kami bergegas ke sebuah terminal besar yang dimaksud. Dua kali berganti angkutan umum benar-benar menguras tenaga, belum lagi harus kembali bertanya mana angkutan yang bisa mengantarkan kami ke sebuah terminal besar yang dimaksud.

Azan maghrib berkumandang saat kami sampai di terminal yang disebut-sebut terbesar se-Dimyat. Ada 2 pilihan saat itu: salat dulu dengan kaki yang pegal dan perut lapar; atau menyambangi sebuah warung sederhana, menemui kursi-kursi kosong yang seolah mempersilakan kami dari kejauhan.

Opsi kedua kami pilih dan salat kami niatkan jamak takhir. Dengan sigap pelayan warung menanyakan apa menu yang kami pilih, “Ful dengan minyak atau nggak, Bung? Kami ada telur-ceplok, mau?”

FOTO Perjalanan menuju muara Nil di Mantiqot al-Lisan, Ras al-Bar.
Kentang goreng dan gorengan falafel (tokmiyah) yang kami tanyakan sudah habis tak tersisa. Yang tersisa tinggal menu wajib full, timun-wortel fermentasi, tahinah, lalap daun Gargir, dan telur ceplok yang kepalang asin. Full yang ada di depan kami tampak aneh, lebih kuning dan cocok sekali di lidah, berbeda dengan yang ada di Kairo. Begitu juga dengan roti ‘isy. Keduanya sangat berbeda dengan yang ada di ibukota. Tak satupun dari kami belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya meski masing-masing dari kami pernah ke beberapa daerah pelosok lain, sebut saja Luxor, Bani Sueif, Tanta, Mansura.
 

Kami sudah larut dengan menu yang terhidang penuh di meja. Lalu-lalang orang melirik, menunjuk, berbisik sudah tak mempan bagi kami. Makanan sesederhana itu sudah menjadi sangat istimewa di depan kami yang perutnya sudah meraung-raung sementara langit semakin gelap.

Kami menuju sebuah tenda besar yang orang-orang menyebutnya terminal Alexandria. Di bawah tenda sudah berjejer angkutan yang siap mengantar kami ke Rashid dengan jurusan Alexandria. Jadi, tidak ada angkutan ke Rashid. Adanya ke Alexandria dan kami akan diturunkan di tepi Rashid.

Sudah hampir 2 jam kami di perjalanan. Tak ada tanda-tanda kami akan sampai Rashid. Malahan, kami sempat dikagetkan dengan pemandangan yang aneh.

“Lho? Ini di mana kita? Kok kanan kiri semuanya laut??”, tanya Arsyad.

Kami baru sadar setelah kawan kami Adam membuka GPS-nya. Ternyata kami sedang disuguhi pemandangan danau Burullus di sisi kiri dan laut Mediterania di sisi kanan. Sayangnya, keindahannya tertutup gelapnya malam. Hanya ada pantulan sendu rembulan di garis horison.

“Hei, bung! Hei kalian yang di belakang tadi minta turun di Rashid. Kalian mau turun di mana?”, tanya Pak Sopir dari depan.
PETA Jelejah Dua Muara Nil: Damietta - Rosetta.

“Iya, Pak. Turun di Rashid. Turunkan di ‘mathaf’ (museum) ya pak..”, jawabku.

“Apa? Turun di mana?”, tanya Pak Sopir lagi. Beberapa pemuda Mesir yang duduk di samping kami ikut membantu Pak Sopir mendengarkan. Suaraku dihujani suara kerikil perbaikan jalan sebelum menyeberangi jembatan sungai Nil cabang Rashid.

“Turun ‘mathaf’, Pak.. Mathaf Rashid! Yang samping bank itu lho!”, aku jawab seingatku. Seingatku, Museum Rashid memang dekat dengan bank.

Pemuda di samping kami mencoba menyampaikan jawabanku, “Itu pak.. Dia bilang turun ‘matham’ (rumah makan), dia bilang rumah makan.”

Gila! Aku sudah sangat jelas sekali melafalkan “m-a-t-h-a-f”. Pemuda itu baru menyadari setelah aku ulang, bukan “matham” (rumah makan) melainkan “mathaf” (museum). Pak Sopir mengangguk tanda mengiyakan.

Kisah selanjutnya di Paman Abdul Moneim..

Write a comment