(telah dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 3 Februari 2013)
Dari sudut jauh, aku melihat titik cahaya membias-lebar hingga membuat mataku terbuka melihat semua yang ada. Namun,
ada yang aneh dari apa yang aku lihat. Semuanya putih. Putih tanpa ada benda bertepi gelap dan warna hitam yang menunjukkan perspektif pandang. Tidak ada warna selain putih. Sesaat kemudian, semuanya berjalan seperti tidak asing selama ini.
“Iya, pak.. Siap lah pokok’e. Nanti sekalian aku ngambil uang ote-ote jatah kemarin..”, senyumku menghiasi jawaban untuk bapak tercintaku.
Kayuhan demi kayuhan untuk mengantar aku dan adikku ke sekolah mengawali setiap pagi bapak. Sebenarnya, dari awal aku memilih jalan kaki tanpa harus diantar oleh bapak dengan becak tuanya. Tapi, bapak selalu memaksaku ikut dengan becak tuanya. Alasannya, karena perempatan tempat bapak memarkirkan becak dan menunggu penumpang sangat dekat dengan sekolahku, sejalan pula. Jadi, tiap pagi aku dan adikku, Ninis, selalu diantar oleh bapak dan becak kesayangannya itu. Becak yang juga menjadi sarana pekerjaan-tunggal bapak.
“Nis, mbak besok mau sekolah di SMPN Tunas Bangsa. Tahu kan? Pernah dengar nama sekolah itu kan, Nis?”, tanyaku mengajak adik membuat harapan indah di pagi itu.
“Pak, setahun lagi Retno tamat SD.. Bisa ndak ya sekolah di SMPN Tunas Bangsa? SMP di samping kantor kecamatan itu lho, pak..”, pertanyaan sama aku tujukan pada bapak yang sedari tadi mengayuh becaknya.
“Bisa, pasti bisa. Kamu pasti bisa jika kamu mau berusaha, Tri..”, jawab bapak dengan bijak.
“Tapi, itu kalau kamu dapat biaya dari pemerintah. Besok, jangan peringkat 2 lagi ya? Harus 1, biar dapat sekolah gratis di SMP yang kamu inginkan itu..”, tambah bapak.
“Iya, pak.. Tri mulai hari ini mau berusaha belajar lebih giat. Pokok’e ranking setunggaaal..”, sorak soraiku tidak lama sebelum bapak menginjak rem becak agar berhenti tepat di samping gapura SD.
“Bapaaaaaaak..”, teriakku sekencang mungkin.
Badanku lemas. Lemas tak kuasa membendung air mata.
“Bapaak,”
Ada yang aneh. Orang di sekelilingku mengacuhkanku. Mereka mengacuhkan teriakan dan tangisku sedari tadi. Mereka sibuk dalam sedih dan nuansa duka mereka sendiri. Tak ada yang mendekatiku, membujuk tangisku agar terdiam. Apa mereka menganggap tangis dan teriak seorang anak yang bapaknya meninggal ialah hal wajar?
Dari sudut jauh, aku melihat titik cahaya membias-lebar hingga membuat mataku terbuka melihat semua yang ada. Namun,
ada yang aneh dari apa yang aku lihat. Semuanya putih. Putih tanpa ada benda bertepi gelap dan warna hitam yang menunjukkan perspektif pandang. Tidak ada warna selain putih. Sesaat kemudian, semuanya berjalan seperti tidak asing selama ini.
Pagi itu, ibu membuat ote-ote dibantu adikku, Ninis, yang masih
duduk di kelas 2 sekolah dasar. Mereka berdua nampak sibuk. Tangan mereka kotor
oleh tepung basah. Memasukkan beberapa potongan sayur seperti wortel, kecambah dan
yang lain ke dalam adonan tepung dari wadah itu. Aku rasa hal itu tak lama
berselang. Setelah aku melewati kelambu pintu yang membatasi ruang tamu dan
ruang tengah, aku terkejut dengan apa yang ada di ruang tamu. Banyak sekali orang-orang
berkumpul di ruang tamu. Ada dari wajah mereka memasang tangis. Aku masih belum
paham tangis apa itu. Tapi, kenapa ibu dan adikku, Ninis, membuat ote-ote?
Ada tubuh terselimuti kain batik kecoklatan di atas meja panjang namun
kaki meja itu tidak terlalu tinggi. Aku masih bisa berlutut dan menjangkau
untuk meletakkan pipi basahku. Aku tidak percaya. Aku tidak yakin orang yang
terbujur pucat pasi tanpa nafas itu ialah…
***
“Tri, jangan
lupa bawa ote-ote ibumu ke warung Bu Yat di belakang SD, ya?”, kata Bapak
sebelum mengawali kayuhan becak tuanya di suatu pagi.
“Iya, pak.. Siap lah pokok’e. Nanti sekalian aku ngambil uang ote-ote jatah kemarin..”, senyumku menghiasi jawaban untuk bapak tercintaku.
Kayuhan demi kayuhan untuk mengantar aku dan adikku ke sekolah mengawali setiap pagi bapak. Sebenarnya, dari awal aku memilih jalan kaki tanpa harus diantar oleh bapak dengan becak tuanya. Tapi, bapak selalu memaksaku ikut dengan becak tuanya. Alasannya, karena perempatan tempat bapak memarkirkan becak dan menunggu penumpang sangat dekat dengan sekolahku, sejalan pula. Jadi, tiap pagi aku dan adikku, Ninis, selalu diantar oleh bapak dan becak kesayangannya itu. Becak yang juga menjadi sarana pekerjaan-tunggal bapak.
Bapak
tidak pernah sekolah. Sekolah Rakyat pada waktu bapak kecil jaraknya
berpuluh-puluh kilometer dari rumah, belum lagi harus membayar uang bulanan.
Padahal, untuk menjaga dapur agar tetap berasap saja bapak harus mencari uang
seorang diri semenjak mbah kakung dan mbah putriku dibawa paksa orang
tak dikenal dengan pakaian militer.
Pada suatu hari, adik-mbah kakung mengajaknya tinggal bersama. Bapak
kemudian hidup dengan adik-mbah kakungku yang telah lama ditinggal
istrinya pergi mencari uang di ibu kota, sementara ia belum meninggalkan anak
yang hidup. Tiga kali mengandung, semuanya keluar tanpa nyawa. Ada juga yang
masih berupa seonggok janin.
Hingga ajal menjemput adik-mbah kakungku itu, istrinya pun masih
tak ada kabar. Entah dimana. Padahal, kiriman wesel tak pernah telat darinya.
Begitu pula dengan alamat pengirim wesel itu, tak pernah tetap. Pernah tertulis
Semarang di bagian pengirimnya, Bandung, Jakarta. Entahlah. Entah dimana.
Bapak mendapat becak ini juga dari tinggalan adik-mbah kakung. Adik-mbah kakung menyimpan lebihan uang wesel setelah ia gunakan untuk kehidupan dalam sebulan. Dalam setahun ia sudah mampu membeli becak. Becak tergolong kendaraan yang tidak murah di masa itu, di saat bapak berumur 12 tahun. Karena, hanya kendaraan itulah yang digunakan untuk membawa penumpang dari perempatan sebelum Jembatan Merah menuju makam Sunan Ampel.
Bapak mendapat becak ini juga dari tinggalan adik-mbah kakung. Adik-mbah kakung menyimpan lebihan uang wesel setelah ia gunakan untuk kehidupan dalam sebulan. Dalam setahun ia sudah mampu membeli becak. Becak tergolong kendaraan yang tidak murah di masa itu, di saat bapak berumur 12 tahun. Karena, hanya kendaraan itulah yang digunakan untuk membawa penumpang dari perempatan sebelum Jembatan Merah menuju makam Sunan Ampel.
“Nis, mbak besok mau sekolah di SMPN Tunas Bangsa. Tahu kan? Pernah dengar nama sekolah itu kan, Nis?”, tanyaku mengajak adik membuat harapan indah di pagi itu.
“Pak, setahun lagi Retno tamat SD.. Bisa ndak ya sekolah di SMPN Tunas Bangsa? SMP di samping kantor kecamatan itu lho, pak..”, pertanyaan sama aku tujukan pada bapak yang sedari tadi mengayuh becaknya.
“Bisa, pasti bisa. Kamu pasti bisa jika kamu mau berusaha, Tri..”, jawab bapak dengan bijak.
“Tapi, itu kalau kamu dapat biaya dari pemerintah. Besok, jangan peringkat 2 lagi ya? Harus 1, biar dapat sekolah gratis di SMP yang kamu inginkan itu..”, tambah bapak.
“Iya, pak.. Tri mulai hari ini mau berusaha belajar lebih giat. Pokok’e ranking setunggaaal..”, sorak soraiku tidak lama sebelum bapak menginjak rem becak agar berhenti tepat di samping gapura SD.
***
Semenjak pagi itu, aku selalu bersemangat untuk sekolah. Bagaimana
tidak? Samping kiri jalan, tepatnya belokan sebelum sekolahku terpasang sebuah baliho
besar SMPN Tunas Bangsa. Setiap kali berangkat, aku melihat ada asaku di sana.
Ada cita-citaku di sana. Ada keinginan yang semakin hari semakin besar setiap
melewatinya, pulang dan pergi sekolah.
Namun, semenjak pagi itulah, terakhir kalinya aku berbicara pada Ninis. Aku
sudah tidak mungkin bisa berangkat bersama adikku yang pendiam dan penurut itu.
Aku tidak akan menemukan keindahan pagi bersama adik tersayangku. Sekarang, aku
hanya bisa duduk leluasa, longgar, dan sepi di atas becak yang dikayuh bapak.
Bapak cukup tegar. Ia hanya menangis saat benar-benar teringat Ninis. Ya. Ninis
dan juga ibu. Ia hanya menangis setiap doa usai sholat. Di setiap hari dan
setiap kegiatan yang menjadi kewajibannya, bapak tidak pernah terlihat
menangis. Hanya terlihat sorot mata yang tidak sesemangat hari-hari kemarin.
Ada sendu yang bisa dibaca dari sembab kelopak mata bapak yang kian hari kian
menggelap.
Ibu dan Ninis meninggalkan kami berdua. Kami tidak rela ibu dan Ninis
pergi. Pergi selamanya dengan cara sangat tersiksa oleh panas api. Mereka berdua
terjebak dalam kebakaran rumah sehari setelah pagi yang menjadi memori
tersendiri bersama Ninis dan ote-ote ibu.
Hari itu, Ninis jatuh sakit. Demam panas. Ia tidak berangkat sekolah dan
akulah yang menyampaikan surat izin yang dibuat ibu untuk wali kelas Ninis. Ternyata,
Tuhan telah mengatur semua. Ya. Dengan aturan Tuhan seperti ini cukup membuat
aku agak merasa tak menentu antara marah, tanya, tak terima, entahlah.
Bagaimana bisa? Aku tidak hanya kehilangan ibu, tapi juga Ninis, adikku, dalam
satu waktu dan satu kobaran api.
Cukup.. Cukup.. Aku sebenarnya tak kuasa kembali menulis dan menuangkan panjang
lebar ingatanku tentang ibu dan Ninis pada cerita ini. Aku tak tega jika harus
mengingat betapa panas api memaksa mereka berdua melepas ajal. Aku dan bapak
tidak tahu apa yang menjadi penyebab rumah kami yang hampir semua dari bambu
lapuk itu terbakar. Yang jelas hanya ada satu kemungkinan rumah kami bisa
terbakar : kompor.
Kompor gas subsidi ibu satu-satunya penyebab rumah kami terbakar.
Mungkin, tabung gas kompor ibu bocor, meledak, atau entahlah. Yang jelas, ibu
dan Ninis sudah pergi. Pergi selamanya. Aku tak tega, sungguh tak tega melihat
hitam legam kulit di badan ibu. Apalagi Ninis yang sebagian kulitnya terpisah,
melekat pada tiang yang juga menjatuhinya saat api melalap rumah.
***
Ada tubuh terselimuti kain batik kecoklatan di atas meja panjang namun
kaki meja itu tidak terlalu tinggi. Aku masih bisa menjangkau untuk meletakkan
pipi basahku. Aku tidak percaya. Aku tidak yakin orang yang terbujur pucat pasi
tanpa nafas itu ialah...
***
“Tin.tiiiin..
Sreeeeiiiitttt… Brak!”
Suara klakson dari belakang dan benturan keras itu yang aku ingat
sebelum semuanya menjadi gelap. Aku tak ingat ada bapak yang juga bersamaku. Ia
di belakang mengayuh becaknya. Ah, iya. Bapak di belakang mengayuh becaknya.
Lantas, dimana bapak? Dimana aku sekarang?
Gelap. Aku tak tahu mataku terpejam ataukah membuka. Yang jelas, semua
nampak hitam. Tidak ada yang aku rasa kecuali serasa memar di kepalaku bagian
belakang. Gelap. Aku berusaha membuka kelopak mataku. Gelap. Bagaimana ini? Aku
yakin mataku sudah terbuka lebar tapi kenapa yang ada hanya gelap?
Dari sudut jauh, aku melihat titik cahaya membias-lebar hingga membuat
mataku terbuka melihat semua yang ada. Namun, ada yang aneh dari apa yang aku
lihat. Semuanya putih. Putih tanpa ada benda bertepi gelap dan warna hitam yang
menunjukkan perspektif pandang. Tidak ada warna selain putih. Sesaat kemudian,
semuanya berjalan seperti tidak asing selama ini.
Pagi itu, ibu membuat ote-ote dibantu adikku, Ninis, yang masih
duduk di kelas 2 sekolah dasar. Mereka berdua nampak sibuk. Tangan mereka kotor
oleh tepung basah. Memasukkan beberapa potongan sayur seperti wortel, kecambah
dan yang lain ke dalam adonan tepung dari wadah itu. Aku rasa hal itu tak lama
berselang. Setelah aku melewati kelambu pintu yang membatasi ruang tamu dan
ruang tengah, aku terkejut dengan apa yang ada di ruang tamu. Banyak sekali orang-orang
berkumpul di ruang tamu. Ada dari wajah mereka memasang tangis. Aku masih belum
paham tangis apa itu. Tapi, kenapa ibu dan adikku, Ninis, membuat ote-ote?
Ada tubuh terselimuti kain batik kecoklatan di atas meja panjang namun
kaki meja itu tidak terlalu tinggi. Aku masih bisa berlutut dan menjangkau
untuk meletakkan pipi basahku. Aku tidak percaya. Aku tidak yakin orang yang
terbujur pucat pasi tanpa nafas itu ialah bapak.
“Bapaaaaaaak..”, teriakku sekencang mungkin.
Badanku lemas. Lemas tak kuasa membendung air mata.
“Bapaak,”
Ada yang aneh. Orang di sekelilingku mengacuhkanku. Mereka mengacuhkan teriakan dan tangisku sedari tadi. Mereka sibuk dalam sedih dan nuansa duka mereka sendiri. Tak ada yang mendekatiku, membujuk tangisku agar terdiam. Apa mereka menganggap tangis dan teriak seorang anak yang bapaknya meninggal ialah hal wajar?
Aku masih mencoba mencari jawaban. Melihat sekeliling. Tiba-tiba ada keributan membelah kerumunan orang-orang yang sedari tadi berkumpul. Aku menemukan
sekelompok ibu-ibu sedang membantu perawat memindahkan satu tubuh tertutupi kain batik coklat
yang terlihat basah dari depan rumah. Nampak ada mobil ambulans berhenti di depan rumah. Kemudian, mereka membaringkannya
di atas meja panjang tepat di samping jasad bapak. Aku tak asing dengan wajah
itu. Ternyata, itu wajahku.
Cairo, 29 Januari 2013
aku melihat titik membias-lebar hingga membuat mataku terbuka melihat semua yang ada. Namun, ada yang aneh dari apa yang aku lihat. Semuanya koma. #eh
ReplyDeletedi Mesir ada ote-ote g Hid?
ReplyDeleteini "aku"nya Tri apa Retno ?
apa Tri Retno? :D
#nggakpenting
hehe, lucu ya, mba' ning? :)
ReplyDeleteAda jika ada yang membuatnya. hehe
Aku di situ yang jelas bukan penulis, karena penulis di sini masih eksis wal afiat. hhaha