Sosok penjual koran di depan masjid Al-Azhar. Usai salat Jumat adalah waktu yang tepat untuk melihat-lihat surat kabar Mesir.
Cukup
lama lapak milik Ummu Muhammad di dekat terowongan penyeberangan sepi.
Tak ada koran-koran yang ditindih batu seperti biasanya. Tak ada
majalah yang berjejer di samping ibu yang tak lagi muda itu. Ya.
Namanya Ummu Muhammad.
"Panggil saja aku Ummu Muhammad ya..", jawabnya saat kutanya nama.
Orang di sekitar sini memang memanggilnya Ummu Muhammad,
dalam bahasa Indonesia: Ibunya Muhammad. Lapaknya berada di depan
gerbang masjid al-Azhar yang menghadap ke arah Attaba. Tidak banyak
penjual koran selengkap Ummu Muhammad, tanyakan saja pada para pelajar
yang tinggal di sekitaran masjid al-Azhar, banyak yang tahu dari
yang tidak.
Siang tadi, aku membuat janji dengan seorang
temanku, Syakir, untuk bertemu di tempat fotokopi. Hari Jumat tidak ada
fotokopi yang buka kecuali satu. Itupun sempat "ngadat" dan harus
menunggu lama.
Nah, tempat fotokopi yang satu ini
berdekatan dengan lapak Ummu Muhammad. Dari sini, niatan mengenal lebih
dekat dengan nenek penjual koran semakin menguat. Satu yang begitu
kuat mendorongku untuk lebih dekat mengenalnya: sorot sepasang matanya.
"Iya, Muhammad itu anakku satu-satunya. Dia sudah lama..pergi.", katanya lirih sembari menatapku.
Dari
situ, aku sempat ragu untuk meneruskan obrolan. Namun, nampaknya Ummu
Muhammad menangkap keraguanku dan lantas lebih memilih tanpa tedeng
aling-aling bercerita.
"Dia meninggal umur 25 tahun, belum sempat menikah. Aku masih ingat benar saat itu.. Ya Rabb, terimalah anakku itu di surga-Mu, Ya Rabb.", matanya berkaca sembari mengecup telapak tangannya bolak-balik. Sebuah ekspresi bahwa ia tetap bersyukur atas apa yang ada; ia ikhlas menerima apa yang terjadi pada putra yang ia cintai.
Muhammad anak
lelakinya itu meninggal pada bulan ketujuh tahun 1998. Ummu Muhammad
masih ingat betul hari-hari terakhir ia melihat anaknya. Aku berusaha
menanyakan apa penyebab meninggalnya. Ia hanya menjawab bahwa semua
sudah diatur Tuhan, semua ada peruntukan masing-masing kalau sudah
berkaitan masalah umur.
"Aku tidak tahu, Nak. Waktu itu tiba-tiba sekali. Kata orang, dia kelelahan setelah bekerja.", kata Ummu Muhammad setelah kupastikan kedua kali.
Ia
juga sempat bercerita tentang suaminya. Tapi, tidak sebanyak ia
menceritakan putra tercintanya. Suami Ummu Muhammad meninggal 2 tahun
sebelum putranya.
Di tengah pembicaraan, aku memintanya
berfoto bersama sebab sebelum ini belum pernah barang sejenak berfoto
kecuali aku mengambilnya tanpa diketahui.
"Sebentar, Nak, jangan ambil gambar dulu. Aku mau memperbaiki jilbab ini.", katanya seraya tersenyum.
Seorang
bapak paruh baya langganannya yang kebetulan sedang memilih koran
menimpali, "Ada-ada saja ini Ummu Muhammad, buat apa memperbaiki jilbab
wong Ummu Muhammad yang biasanya saja sudah oke kok."
Ummu
Muhammad sedikit menggerutu diiringi senyumnya yang lepas. Seperti
itulah senyumnya setiap hari. Senyum yang menghiasi hari-harinya
menunggui bertumpuk-tumpuk koran, dan majalah. Ummu Muhammad bukanlah
perenung seperti disangka banyak orang, bukan pula nenek tua yang tak
lagi ramah. Ia tetap memancarkan sifat keibuannya meski telah lama
ditinggal putranya.
"Aku tinggal dekat sini. Iya, sendiri.", jawabnya.
Ia
tinggal sendiri. Namun, tidak jarang putra-putri saudaranya (keponakan)
mengunjungi rumah, entah membersihkan perabot, membawakan makanan, atau
sekadar berkunjung.
Aku sempat menanyakan tentang pemuda
yang baru saja menemaninya. Ternyata ia bukanlah keponakannya. Ia
salah satu pemuda yang sering membantunya berjualan. Menurut Ummu
Muhammad, ada banyak teman-temannya yang juga sering bergantian
menemaninya berjualan.
Setelah itu, pembicaraan kami
beralih pada seputar lapaknya. Asam-manis kehidupan ia ceritakan.
Termasuk tentang awal mula ia menggelar dagangannya.
"Dulu,
Nak, aku berdagang di sana itu, kamu lihat kan? Di sana, di emperan
sana itu.", katanya seraya menunjuk ke arah bangunan Idarah al-Azhar (Masyikhah: Kantor Grand Syekh Azhar yang lama) di seberang jalan.
Ia
berjualan koran sejak '80-an. Pada era '90-an, lapaknya disuruh pindah
sebab suatu aturan. Sejak saat itu, ia menggelar dagangannya di dekat
terowongan penyeberangan, di depan gerbang masjid al-Azhar.
"Iya, aku di sini, alhamdulillah..
tetap sampai sekarang di sini, di dekat masjid al-Azhar.", jawabnya
diiringi kecupan tangan dan lambaian hormat ke arah masjid. Ia mengekspresikan rasa syukurnya. Mengekspresikan betapa
hormat dan cintanya pada masjid Azhar tersirat dari sorot mata juga
senyumnya. Dari situ aku yakin, sorot mata itu sama. Sama-sama menyimpan
cinta, cinta pada putranya yang telah lama tiada, cinta pada al-Azhar
yang telah berjasa mendidik bahkan bukan hanya masyarakat Mesir. Satu
hal yang membuatku benar-benar iri: Ummu Muhammad selalu salat subuh di
masjid al-Azhar.
"Koran-koranku ini langsung dari syirkah (perusahaan)
korannya. Mereka yang mendistribusikan itu datang kemari dan
menitipkan sekian sampai sekian eksemplar. Aku tinggal menuliskan pada
semacam catatan keluar-masuk. Sebentar akan kuambil.", kata Ummu
Muhammad sambil membuka laci.
Obrolan waktu itu terpaksa
berhenti setelah fotokopi pesananku rampung. Aku dan temanku Syakir
berpamitan untuk beranjak sekaligus berterima kasih padanya.
Terima
kasih atas kesediannya bercerita banyak, terima kasih telah memberi
kami pelajaran hidup yang tak mungkin didapat jika bukan dari orang yang
telah merasakan asam-manis kehidupan, terima kasih telah sudi
menunjukkan pada kami bahwa kasih ibu benar-benar tak terhingga, tak mengenal masa. Terima kasih, Ibu.[]
Kairo 16 Mei 2014
Mu'hid Rahman
diposting juga di blog pribadi: zuwayla.blogspot.com
Captured by Syakir Yousef. |
Captured by Syakir Yousef. |
Terharu saya mendengar ceritanya, asli menyentuh, memang ternyata kerasnya kota Kairo tak banyak mengikis kesederhanaan penduduknya, termasuk Ummu Muhammad, LOVE U FULL UMMU MUHAMMAD, semoga engkau selalu diberi hari-hari penuh keberkahan
ReplyDeleteSaya juga terharu pas interview bang..
DeleteSemoga beliau diberi kemudahan dalam hidupnya, dunia & akhiratnya. Amin. :)