Aku Anak Kancil (?)

(telah dimuat di Harian Radar Mojokerto, Minggu, 3 Maret 2013) 

Lelaki tidaklah menangis kecuali untuk Tuhan dan ibunya. Kalimat ini menjadi harta karun lebih mahal dari apapun yang terbilang. Bapak hanya memberi kalimat ini di saat umurku genap 7 tahun. Meski sudah 11 tahun yang lalu, kalimat yang menjadi satu-satunya pengingat wajah bapak ini tidak pernah terlupa. Terkadang beriringan muncul saat lamunanku mulai merajai diri, juga setiap berdoa setelah salat. Aku merindukanmu, pak..

“Ada apa, Bud? Tak seperti biasanya kau lebih banyak diam hari ini?”, kata teman sekamarku Leman.

“Ah, perasaanmu saja, Man. Aku ya seperti ini kan tiap hari? Aku sehat dan segar gini kok..”, sahutku.

Mungkin benar apa yang dibilang Leman. Pria yang bernama lengkap Suleman, teman sekamarku semenjak semester awal di bangku perkuliahanku memang memunyai kepekaan lebih dari temanku yang lain. Iya, karena setiap hari kami bercengkerama dan bertukar kisah di beberapa malam.

Aku tak pernah seperti ini pada teman baikku itu. Setiap ada masalah, aku bercerita padanya. Begitu juga ia. Namun, kali ini aku memilih diam untuk menutupi masalahku  ini. Aku tak mau seorang pun tahu masalah apa yang aku hadapi kali ini. Aku ingin sendiri. Aku ingin hanya aku yang tahu dan hanya aku yang bersedih.

***
Mbokyo sampeyan kerja yang lebih banyak dapat uang, pak. Tiap hari kok lawuh tempe saja. Aku yang masak saja bosan. Lha bagaimana anakmu itu?”, kata ibu dengan nada kesal di suatu subuh.

Ibuku memang tidak seperti ibu yang lain. Ia cerdas, berprestasi, dan memiliki segudang pengalaman di waktu sekolah. Namun, ia juga memiliki sikap keras, tegas bercampur sedikit angkuh. Aku hanya bisa berkata ‘mungkin’. Mungkin, karena bapak yang pendidikannya lebih rendah dari ibu. Sehingga, meski sudah 8 tahun pernikahan berjalan, yang aku dengar  tiap hari tidak berbeda dengan hari kemarin.

Untungnya, bapak memiliki sikap rendah yang menjadi penahan marah ibu. Aku tak tahu apa yang terjadi jika sikap bapak sama seperti ibu. Pedang-tangkas dengan pedang-trengginas akan saling menebas. Syukurlah, bapakku rendah hati dan lebih banyak menerima dengan dada melapang sehingga adakalanya ibu tersenyum meski bapak harus mandi keringat di perusahaan meubel dari pagi hingga hampir melewati senja.

Nang, bapak harap kamu tidak ada benci pada ibumu, walau secuil dan kamu simpan dalam-dalam di hati.. Bapak tak mau itu, ya? Ini semua memang salah bapak. Bapak terlalu rendah jika dibanding ibumu. Terlalu goblok.”, kata bapak di perjalanan mengantarku ke SD di samping balai desa.
“Kenapa bapak bilang seperti itu?”, tanyaku dengan nada tidak tahu dan tidak ingin bapak berkata seperti itu.
“Sudahlah, kamu belajar yang rajin. Raih prestasi, sekolah sing dhuwur, dan jangan seperti bapakmu.”, pesan bapak sembari menghentikan langkah dan menatap dalam pada kedua mataku.

Bisa dibilang, aku anak yang aneh. Jika kebanyakan anak seusiaku menjawab ‘ibu’ saat ditanya siapa yang paling kamu sayangi, aku menjawab lain. Tuhan. Aku menjawab ‘Tuhan’. Hal itu bukan karena bapak yang melarangku menjawab ‘ibu’ atau karena aku melihat sikap ibu pada bapak. Entah. Aku lebih memilih kata ‘Tuhan’ dibanding keduanya. Aku melihat kasih sayang Tuhan yang benar-benar sempurna sejak aku mulai dikenalkan dengan Tuhan oleh ibu. Ibu yang mengajariku ngaji setiap malam. Ibu yang mengajariku membuka mata selebar-lebarnya pada dunia ini. Begitu juga karakterku, ibulah yang membangun sedikit demi sedikit dengan sesekali mengingatkanku saat ada salah.

“Budi sekolah yang rajin ya.. Ngajinya diingat-ingat, diterapkan satu persatu di hari-harimu,”, tutur ibu di suatu ngaji.
***

Sore itu, aku bertanya pada Leman yang sedari tadi asyik membaca sebuah novel.
 “Menurut kamu gimana, Man, apakah kancil mencuri timun itu karena ibu-kancil dulunya mencuri timun?”, tanyaku.
“Menurutku sih ndak mungkin lah, itu dasar si kancil saja yang ndak tau norma. Kalau ibu-kancil masih hidup, pasti ia dijewer kanan-kiri, Bud.”, jawab Leman sembari menutup novelnya.
“Lantas, apakah kancil bisa cerdik karena ibunya juga cerdik?”, imbuhku.
“Iya.. Aku jawab iya bukan berarti aku menafikan kecerdikan bapak-kancil lho ya.. hehe”, jawab Leman terkekeh.
“Benar juga, bapak-kancil juga seekor kancil ya, Man.. haha”, kataku mengikuti tawanya yang menggema di kamar kos ukuran 4x3 meter.
 

Leman tidak menanyakan kenapa aku bertanya tentang kancil padanya. Itu yang aku harap. Kalau sampai ia tanya menelisik, aku tak akan mau membuka apa yang ada di pikiranku.

“Ada apa kamu tanya kancil, Bud?”, tanya Leman saat hendak mengambil novelnya kembali.
Ora, ora opo-opo, Man. Cuma ingin tanya saja.”, jawabku sedikit kaget karena ia ternyata menanyakannya.
Tenan’e, rek.. Masak tiba-tiba tanya seperti itu?”, kata Leman penuh tanya.
“Iya, aku sekadar ingin tahu apa jawabanmu, Maaan..”, ucapku dengan nada meyakinkan.

Leman kembali dalam dunianya, membaca novel. Hobinya selain nonton film memang membaca novel. Tak ayal, rak bukunya dipenuhi berbagai novel dengan bermacam tebal. Yang unik, ia hapal penulis-penulis dengan sederet karya mereka, juga sutradara dengan filmnya. Entah berapa banyak yang ia simpan di dalam memori kepalanya. Untungnya, keluarganya termasuk kategori mampu untuk menyokong hobinya itu. Aku bangga memunyai teman sekamar seperti Leman. Meskipun, aku tak seperti dia, paling tidak aku bisa mengikuti perkembangan novel dan film yang ada.
***

Malam ini, ada pesan masuk dari bapak di desa nun jauh, 10 jam perjalanan dengan kereta karena memang kuliahku di tetangga propinsi, tepatnya di Surabaya.

Dalam pesannya, bapak memberi kabar bahwa ibu pergi ke rumah kakek. Ibu pergi dengan menangis dan bersumpah akan membawa bapak ke pengadilan agama. Bapak ingin agar aku tidak usah pulang. Tapi, dalam hatiku berkecamuk antara pulang, melanggar perintah bapak dan tidak pulang, membiarkan semua terjadi di rumah begitu saja.

Aku tak habis pikir, pernikahan yang hanya selisih setahun denganku bisa semudah itu tertiup badai dan besar kemungkinan akan hilang. Hilang entah pada suatu apa kandas dan memilih jalan cerita masing-masing. Sedangkan, aku? Aku harus bagaimana?

Aku memilih menyendiri, diam, dan benar apa yang dikata Leman, aku berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Aku masih termenung dan dalam keadaan titik puncak harus bagaimana yang aku tidak tahu itu. Diam membuka buku tapi pikiranku sama sekali tidak berada pada apa yang aku baca hingga larut, larut dalam malam dan aku terlelap dalam sedih yang aku tahan supaya tidak mencair dengan tangis. Leman memilih keluar entah kemana semenjak aku membentaknya dan aku bilang aku ingin sendiri
***

Siang itu, kesedihanku benar-benar memuncak. Sudah tak tertahan rasanya. Apalagi, ditambah banyak tanda-tanya yang Leman lemparkan padaku. Aku tahu Leman bertanya karena ia berusaha membantuku dan berusaha menarikku dalam kubangan sedih sendiri.

Aku tak kuasa lagi menahan untuk tidak bercerita. Aku ceritakan semua pada Leman. Ia tercengang, diam, dan juga tak tahu harus memberi saran apa pada temannya ini.
 
“Bud, jangan kau kira hanya kau yang sedih dan kau sendiri yang punya masalah seperti itu!”, ia membentak keras dan ucapannya menarikku pada perhatian.
“Kamu tahu keluargaku? Keluargaku sudah hancur semenjak aku SD! Ayahku menikah lagi dan aku tidak tahu kemana ia pergi. Ummiku pergi jauh dengan suami barunya. Kamu kira aku tidak jauh lebih sedih darimu?!! Aku dibesarkan oleh keluarga pamanku yang tidak memiliki putra sampai detik ini.”, sentaknya lagi dengan air mata menggenang dan semenjak itu aku baru tahu. 

Aku belum membuka mata lebar seperti apa yang dipesan ibuku dan aku bersalah pada bapak jika aku terhenti lantas pulang dalam kecewa tanpa prestasi. Aku juga sadar, aku terlalu mendangak ke atas dan jarang melihat ke bawah.[]

Kairo, 6 Pebruari 2013
Mu’hid Rahman
Hari dimana aku lebih memilih menulis daripada menghadiri kunjungan klise presiden  pada ‘calon asrama’ yang sedari dulu tidak pernah lepas dari label ‘calon’..

sumber gambar: www.anneahira.com

Comments

(2)
  1. ceritamu makin keren cak :)
    aku seneng banget e bacanya :)
    SEMANGAAAAAAAAAAAAAAT

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, makasih banyak, mba El.. :D
      Saran kritik aku nanti,

      Delete

Post a Comment