Aku Butet dari Indonesia!

Panggilannya Butet. Pemuda desa yang menjejakkan kaki di Kairo, ibukota negara berkembang, sama dengan Indonesia. Dalam waktu dekat, ia akan segera memasuki semester terakhirnya. Tak ayal, bukan hanya diktat tebal bertumpuk dengan bahasa asing dan permasalahan rumit yang membuat hari-harinya penuh dengan harap, melainkan juga kampung halaman. Namun, ada satu hal yang dapat mengubah kerut dahi yang seringkali menghiasi wajahnya menjadi simpul senyum bahagia. Apakah itu?

Pagi itu, pikiran Butet melayang dan berhenti pada suatu ingatan. Ya. Kampung halamannya. Ingatannya melayang, terus terbang melewati bebiru langit dan hijaunya pepohonan kampung yang berada di lereng gunung. Suara burung ikut berpadu bersama arus sungai yang tak henti mengalunkan melodi keheningan.

Toooootottt.. Klakson mobil bak terbuka yang angkuh itu menghilangkan lamunan Si Butet yang sedari tadi berjalan dari sebuah rumah menuju terminal bus. Ia baru saja menghabiskan masa liburannya, berkunjung ke rumah seorang teman di ujung sebuah propinsi. Kurang lebih 3 jam perjalanan dari Kairo. Rupanya, rumah Imad, teman Butet itu juga berada di sebuah desa yang hijaunya beda tipis dengan Indonesia.
"Hati-hati di jalan ya, Butet! Jangan menyesal datang ke rumahku.", ucap Imad dengan logat yang selalu saja aneh saat mengucapkan kata BUTET.

"Shokran, Imad. Terima kasih ya.. Terima kasih juga untuk keluargamu dan para tetangga. Aku benar-benar bahagia.", sahut Butet dengan mencoba menekan ucapan 'terima kasih' dalam bahasa Indonesia agar Imad memahami kata yang sering ia tanyakan itu.

Lamat-lamat lambaian tangan Imad menjauh dari pandangan Butet. Ia duduk di deret belakang sebuah bus yang menuju Kairo, tepat di samping jendela. Bus yang membawanya berjalan-lancar, bersaing dengan kendaraan lain. Seolah angkuh, bus itu tak segan menghadiahkan bunyi klakson yang masih terdengar tegas --dan sesekali mengagetkan-- pada kendaraan yang ia salip.

Seorang bapak tua beruban lebat yang duduk di samping Butet mengawali percakapan, "Dari mana asalmu, nak?"

"Dari Indonesia, pak."

"Indonesia itu negara muslim kan ya?", tanya bapak tua.

"Bukan, pak. Lebih tepatnya mayoritas penduduk di negara kami beragama muslim. Tidak jauh beda dengan Mesir ini yang juga mayoritas penduduknya muslim namun memiliki penduduk beragama Kristen-koptik sebagai minoritas. Bedanya, di negara kami ada bermacam agama selain Islam, belum lagi kepercayaan yang ada. Begitu melimpah.", jawab Butet yang semakin menarik perhatian bapak tua dan beberapa penumpang lain di sekelilingnya.

"Hmm.. Iya, iya. Di sana banyak pulau ya? Setiap kali aku melihat tayangan stasiun televisi yang mengangkat budaya berbagai belahan dunia, selalu disebut dari pulau ini, dari pulau itu dan masih termasuk wilayah Indonesia. Benarkah demikian?", tanyanya lagi.

"Benar. Memang demikian, pak. Ada sekitar 13 ribu pulau di Indonesia."

"13 ribu? Banyak sekali.. Eh, sudah dulu ya. Saya sebentar lagi turun. Itu di persimpangan depan." sahut bapak mengakhiri obrolan itu.

Ucapan terima kasih dan senyum bahagia sang bapak mengalir tak henti-hentinya sampai sejenak sebelum bus memperpelan jalannya mendekati persimpangan. Begitu juga Butet yang hatinya penuh bangga pada Indonesia dan membuatnya semakin rindu kampung halaman.

Matahari tak begitu menyengat, kalah dengan sepoi angin musim dingin yang telah lama bergerilya di negeri ini. Bus kembali menggeram seolah tak sabar segera tuntas mengantar penumpang di akhir jurusan. Penumpang yang tersisa sekarang tak sebanyak hitungan jari. Butet kembali menikmati pemandangan jalan raya dan hiruk pikuknya.

Tepat jam 1 siang, bus telah sampai di terminal terakhir. Butet segera menuju masjid di seberang jalan guna menunaikan sembahyang sekaligus melepas lelah sejenak. Segera setelah itu, ia bergegas menuju apartemennya yang tak sampai 15 menit dengan jalan kaki. Tak kuasa menahan lelah, ia terkulai di dalam kamar dan terlelap begitu saja setelah sampai.
***
"Bagaimana liburan kemarin? Bagi-bagi cerita lah..", tanya salah seorang teman satu flat yang pagi itu sedang berkumpul di ruang tengah.

"Mantap! Keluarga Imad semuanya baik padaku. Bahkan tetangganya banyak yang mendatangiku sekadar bertanya dan ingin tahu aku, orang asing ini. Ha.ha.."

Pada mulanya, Butet hanya bercerita sepotong itu saja. Namun, teman-temannya terus membujuk agar ia meneruskan ceritanya. Butet yang memang gemar ngobrol berjam-jam akhirnya mengiyakan. Ia seolah membawa teman-temannya itu terbang dengan ceritanya. Terbang menuju awal ia berlibur di rumah Imad. Tak lupa, ia menggambarkan betapa hijaunya desa, gemericik sungai kecil yang mengalir, dan penduduk sekitar yang ramah.
***
Hari pertama, Imad mengajakku bertemu sesepuh desa yang kebetulan kakeknya.

"Ini pasti Buthid, teman Imad ya?"

"Iya. Butet, kek, bukan Buthid.", sanggahnya sembari tertawa ringan yang diikuti tawa Imad.

Setelah melontarkan pertanyaan seperti biasanya tentang geografis Indonesia dan beberapa hal, kakek mengajaknya menuju ruang makan. Rupanya, makanan sudah tersaji di atas meja. Kakek mempersilakan duduk. Namun, setelah itu Imad bergegas keluar entah kemana. Jadilah aku hanya dengan kakek.

"Kamu sudah terbiasa dengan makanan sini kan, nak?", tanya kakek yang saat itu mengambil beberapa tumpuk roti.

Belum aku menjawab, Imad sudah kembali dengan sepiring penuh nasi yang membuatku kaget.

"Ini ada nasi barangkali roti ini tidak membuat perutmu merasa sudah makan. Ha.ha..ha..", sindir Imad sembari meletakkan piring di sisiku.

"Nak, seperti katamu tadi, Indonesia itu mempunyai budaya yang beragam, pulau yang mencapai belasan ribu, apakah masyarakat di sana makanannya juga berbeda-beda?", tanya kakek.

Imad yang lahap memperpelan tempo makan melihatku, menunggu jawaban dari pertanyaan kakek.

"Iya. Betul, kek. Setiap daerah di negeri kami mempunyai makanan khas. Ada yang suka pedas, ada juga yang suka manis. Di daerah ini makanannya kebanyakan dari tetumbuhan, di daerah itu dari daging, dan masih banyak yang lain. Tapi, kami punya satu makanan pemersatu, kek.", jawabku.

Kakek menaikkan nadanya, "Pemersatu??"

"Iya, kek. Makanan yang semuanya doyan dan menjadi kebanggaan kami. Namanya tempe."

"Apa? Tembi?", tanya kakek kesulitan melafalkan.

"Tembe, kek.", sela Imad sudah mulai fasih menyesuaikan bahasa Indonesia.

"Tempe. Pakai huruf P. Seperti polisi, buulis.", tambahku memperjelas pelafalan.

Aku berhenti sejenak memikirkan penjelasan yang sesederhana mungkin tentang tempe, "Makanan ini terbuat dari kedelai dan dalam prosesnya akan jadi jika ditumbuhi jamur. Bukan jamur besar yang biasanya di pasar itu lho ya.. He.he..he.."

Gelak tawa yang bercampur sedikit sisa rasa penasaran mereka pada tempe menjadi jeda sebelum kakek mengingatkan untuk meneruskan makan. Tampaknya, Imad sudah kenyang dan segera ke belakang mencuci tangan, disusul aku dan kakek.
***
"Sayangnya, kedelai sekarang semakin sulit terjangkau ya..", kata seorang teman memotong cerita Butet.

"Yaa, paling tidak kita tak perlu menceritakan masalah yang kita yakin bisa ditangani sesegera mungkin. Toh, Indonesia sebentar lagi memilih pemimpin baru kan?", sergah Butet yang disambut tatapan harap dari beberapa pasang mata di sekelilingnya.

Butet beranjak ke dapur. Ia kembali duduk dengan membawa dua cangkir teh yang masih mengepul untuk diminum bersama.

"Kalau kurang, kalian buat sendiri lah.. Itu air panasnya masih di dekat kompor.", kata Butet yang menunjukkan jarinya ke arah dapur.

Anto, teman sekamar Butet yang sedari tadi mencari buku di depan deretan rak ikut bersuara, "Aku jadi ingat Mas Rano yang sekarang di S2 bareng aku itu. Aku dan dia baru saja ujian kemarin. Saat hendak masuk ruang ujian-lisan untuk pelajaran hukum Islam, ia ditanya oleh Dr. Mahmud, dosen pengujinya."

"Apa benar di Indonesia ada Pancasila?", tanya beliau.

"Iya. Ada, pak.", jawab Mas Rano yang kemudian memaparkan apa saja lima poin yang ada di Pancasila itu. Namun, belum sampai sila ke-5 Prof. Mahmud sudah mempersilakan para mahasiswa masuk ruang ujian.

"Setelah ujian selesai dan kami berdua hendak beranjak pulang, Prof. Mahmud memanggil kami. Saat itu, beliau sedang berbincang kecil dengan seorang dosen lain. Kemudian, kembali bertanya pada kami."

"Apa Pancasila itu benar diterapkan di Indonesia?", tanya beliau mengawali.

"Iya, pak, diterapkan. Ini salah satu pendukung yang menjadikan kami hidup harmonis berdampingan meski berbeda-beda agama dan kepercayaan."

"Di sana ada pulau yang namanya Bali, benar demikian? Bisa kau ceritakan itu?", kata beliau.

"Iya, benar, pak. Pulau Bali merupakan salah satu dari belasan ribu pulau yang dimiliki Indonesia. Mayoritas penduduknya non-muslim. Mereka mempunyai ritual sendiri seperti menyembah patung, membakar jasad yang sudah wafat, menghormati sapi yang mereka anggap sebagai tunggangan salah satu dewa mereka, menjaga kelestarian alam, dan masih banyak yang lain. Kami sebagai warga negara saling menghormati dengan tidak menyembelih sapi di sana dan kami juga tahu diri kalau sedang ada ibadah mereka di hari-hari tertentu. Begitu juga mereka, kami saling menghormati.

Di samping itu, alam di sana masih asri. Lautan yang biru, pegunungan menghijau, dan penduduk yang memiliki toleransi beragama tinggi membuat Bali juga menjadi salah satu agenda pariwisata Internasional. Beberapa acara Internasional digelar di sana."

"Subhanallah! Indah sekali.", kedua dosen itu berdecak kagum.

"Tak salah Dr. Amr mengungkapkan kesannya tentang Indonesia dengan satu ungkapan; Permadani Hijau.", tambah Prof. Mahmud sembari menukil cerita teman beliau, Amr, yang baru saja mengadakan pertemuan ulama Internasional di Malang.

Teman Prof. Mahmud yang berada di sampingnya ikut bertanya, "Apa ada pulau lain yang untuk wisata?"

"Ada, pak. Di samping Bali ada pulau, namanya Lombok.", jawab Anto.

"Di sekitar itu juga ada banyak pulau, lebih tepatnya kepulauan.", tambah Mas Rano.

"Apa tadi? Lumbuk? Lumbuuk? Ah, itulah pokoknya. Ada apa saja di sana?", tanya beliau lagi.

Mas Rano menjelaskan panjang lebar tentang pantai-pantai di sana yang indah, pegunungan yang hijau, dan masih banyak lagi pemandangan alam yang tak akan puas jika tidak berkunjung ke sana. Nampaknya, dua orang dosen itu benar-benar tertarik dengan alam Indonesia yang hijau. Kami juga maklum, toh beliau berdua sama dengan kami yang tinggal di sekitaran ibukota dengan hiruk pikuk, belum lagi suasana asli sebagai dataran berpasir. Seperti apalah jadinya jika tiada sungai terpanjang di dunia, Nil, yang menghijaukan setiap daerah yang dilewatinya.

"Apa benar ada, jazirah tinniin, pulau naga di Indonesia? Aku sempat melihat liputan sebuah televisi, tapi hanya sekilas. Apakah di pulau itu juga ada tempat wisata?", tanya Prof. Mahmud.

"Ada, pak. Iya. Namanya bukan Pulau Naga, melainkan Pulau Komodo. Komodo memang hewan purba yang mirip dengan naga. Pulau inilah habitat asli hewan itu.

Jangan salah, pulau ini tidak hanya menyajikan kehidupan hewan purba itu saja lho, pak. Ada pantai yang sangat indah. Di pantai itu pasirnya merah muda, pink. Pantai berpasir merah muda ini hanya ada 7 di antero dunia. Salah satunya ya di Pulau Komodo ini. Belum pernah terbayang seperti apa kan, pak, pantai merah muda? He.he..he..", jelas Mas Rano yang diikuti gelak tawa ringan semuanya.

"Gelak tawa itu sekaligus mengakhiri obrolan kami berempat. Kedua dosen itu beranjak pergi disusul kami berdua. Lelah memang sehabis ujian lisan itu, tapi ya bahagia bisa dengan bangga bercerita tentang Indonesia.", kata Anto, pemuda yang bernama lengkap Sugianto ini.
***
Obrolan mereka terus mengalir. Butet kembali meneruskan ceritanya dengan sesekali menyesap teh yang masih hangat itu. Bukan hanya uap teh yang nampak dan membuat suasana menjadi hangat, nasionalisme yang kerap kali terselip di setiap cerita juga ikut menambah hangatnya kekeluargaan satu flat yang semuanya berasal dari Indonesia. Mereka mempunyai gambaran masing-masing tentang pengalaman di tanah rantau, juga gambaran rasa bangga pada tanah air yang sesekali merupa rindu untuk pulang.

Tiba-tiba, suasana para pemuda yang sedang asyik berbagi cerita dan ceria tentang negerinya itu menjauh. Rupanya, bukan suasana itu yang menjauh. Melainkan pandangan ini. Pandangan ini seolah ditarik mundur, menjauh keluar dari jendela yang setengah terbuka. Melewati gumpalan awan yang berpadu seperti kapas yang baru saja tertiup angin. Kemudian, semakin meninggi dan terlihat banyak sekali warna hijau seolah berlayar di hamparan samudera. Oh, itu. Itu gugusan pulau dari ujung Sabang sampai tepi Merauke; Indonesia.
***
… Tak ayal, bukan hanya diktat tebal bertumpuk dengan bahasa asing dan permasalahan rumit yang membuat hari-harinya penuh dengan harap, melainkan juga kampung halaman. Namun, ada satu hal yang dapat mengubah kerut dahi yang seringkali menghiasi wajahnya menjadi simpul senyum bahagia. Apakah itu?

Ya. Rasa bangga menjadi bagian dari Indonesia yang begitu berwarna.

Bolehlah Butet hanya sebuah nama dari begitu banyaknya pelajar Indonesia di luar negeri. Namun, rasa gundah di akhir studi dan tuntutan kampung halaman tetap akan diganti oleh rasa bahagia yang sama-sama mereka punya; rasa bangga menjadi bagian dari Indonesia. []


---
**diikutkan dalam kompetisi Tulis Nusantara 2013

Comments

(4)
  1. ikut lomba dek ?
    semoga sukses ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sudah lewat, mbak.. :)
      dan tidak dapat nomer. :)

      Delete
  2. keren pakdhe,,, ajari awak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, alamat palsu kalau belajar ke saya, pakdhe. :d

      Delete

Post a Comment