Desa Semangka
Selama 5 jam perjalanan ke Dimyat
kereta kami melewati berbagai daerah yang hijau sepanjang Nil (cabang Dimyat).
Kami melewati Tanta dengan sekilas pemandangan masjidnya yang asri, masjid Sidi
Ahmad Badawi, juga kota Mansurah yang mengingatkan kami pada perempuan
berpengaruh Shagar ad-Durr yang hendak membawa pulang suaminya yang meninggal,
Sultan Salih Nagm ad-Din Ayyub (Bapak Dinasti Mamalik).
Kami melewati kota-kota di
pelosok yang sama sekali belum pernah kami tahu seperti Shirbin menjadi nisbat
Shirbini di beberapa nama ulama terkemuka, seperti pengarang Mughnil Muhtaj
Syekh Khatib as-Shirbini atau Grand Syeikh ke-27 Syekh Abdurrahman as-Shirbini.
Ada juga nama daerah yang unik seperti Kafr
al-Battikh. “Kafr” bermakna desa atau daerah pelosok yang lebih tinggi dari
yang lain, berbeda dengan istilah “Mit”, “Qoryah”, atau “Tsaghr” yang
kesemuanya juga mempunyai makna umum desa/daerah di pelosok. Sementara,
“Battikh” bermakna semangka. Ya, Desa Semangka. Kami hanya bisa tertawa dan
menerka barangkali daerah itu penghasil semangka nomer wahid hingga menjadi
nama resmi daerah.
FOTO Di depan stasiun Dimyat, sehabis salat. | by Qalam Eka Maulana. |
Kami sampai di stasiun akhir,
stasiun Dimyat. Sesampai di sana,
kami segera mencari masjid. Selain waktu sudah semakin sore, wajah kami juga
serasa sudah terlalu berat membawa debu. Rasanya seperti memakai bedak sekian
centimeter. Tujuan kami masjid hingga bisa berwudu, salat, dan beristirahat
sejenak.
“Kalian setelah ini hendak ke
mana?”, tanya Mohammad, teknisi pelabuhan yang kami temui di gerbong kereta.
Ia lantas menunjukkan arah masjid
dan jalur angkutan yang harus kami tempuh untuk sampai Ras al-Bar, muara Nil
tempat bertemunya sungai dan laut. Orang sini menyebutnya “bughaz” dan
seringkali diikuti ayat “marajal bahrayn” (bertemunya dua laut; bahr sungai dan
bahr mutawassith).
Setelah salat jamak dan qasar di
masjid modern di tepi Nil, kami sempatkan bertanya lagi tentang angkutan apa
yang bisa mengantarkan kami menuju muara Nil di kawasan bernama al-Lisan. Setelah
puas bertanya, kami juga menanyakan bagaimana cara menuju Rashid. Pertanyaan
kedua ini hampir kesemua orang yang kami tanya, tak satupun yang memberi
jawaban pasti. Semua hanya bertanya balik kenapa kami ke sana. Malah ada seorang bapak yang menyarankan
kami untuk kembali naik kereta dan balik ke arah Kairo, turun di Mansura atau
Damanhour untuk bisa ke Rashid. Kami cukup mengiyakan dan segera menuju Ras
al-Bar. Soal bagaimana nanti ke Rashid belakangan saja.
FOTO Pesona sungai Nil (cabang Dimyat) menjelang berakhirnya perjalanan panjang melintasi sebelas negara, untuk bertemu dengan Mediterania. | captured by Qalam Eka Maulana. |
Setelah berjalan cukup jauh untuk
sampai di terminal khusus menuju Ras al-Bar, kami mulai sadar bahwa terminal di
daerah berbeda dengan di kota.
Di sini terminal disediakan khusus sesuai jurusan dan letaknya berjauhan. Misal
saja terminal angkutan tujuan Mansurah terletak jauh sekali dari terminal
jurusan Aleksandria, belum lagi terminal dengan jurusan kota-kota lain. Kalau
tidak benar-benar berinteraksi dengan sering bertanya, kami tak akan tahu di
mana angkutan yang akan membawa kami ke tujuan.
Marajal Bahrayn
Kami sampai di sebuah kawasan
yang bernama Lisan, Mantiqat al-Lisan. Kawasan di muara Nil (cabang Dimyat)
yang ramai diisi villa-villa rapi berjejer. Semua pantai dan tepi laut terbuka
untuk umum. Tidak ada pantai yang “dikaveling” seperti di Aleksandria. Semua
bebas keluar masuk, mandi, bermain pasir, atau sekedar duduk menikmati ombak
yang anggun.
Kami terus saja berjalan mencari
di mana muara Nil cabang Dimyat. Di mana bertemuanya dua laut ini. Orang Mesir
lebih umum menyebut sungai Nil (nahr nil; bahasa Arab) dengan “bahr
Nil”, menyebut sungai dengan “bahr” bukan “nahr”. Lantas, di manakah bertemunya
dua laut ini?
FOTO Di atas kompas dekat monu-
men Ras al-Bar, Dimyat. | by Qalam Eka Maulana.
|
Sampailah kami di sebuah monumen
menandakan berakhirnya perjalanan panjang sungai Nil melewati 11 negara. Salah
satu sungai terpanjang di dunia yang menjadi sumber-air utama bagi 8 negara.
Kawasan yang bersih ini
memanjakan kami berlima dari penatnya perjalanan. Taman,
mercusuar, dan orang-orang sekitaran yang sedang berlibur menikmati indahnya
Mediterania, semuanya seolah mengucapkan selamat datang di teras Mesir. Ada 21 bendera tiap provinsi
di Mesir berkibar terletak tak jauh dari monumen.
Sejenak, angin yang berhembus
mengingatkanku pada nama Dimyat yang sering sekali disebut dalam
catatan-catatan sejarah. Di Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur milik Ibn
Iyas saja lebih dari seratus kali disebut, di indexnya menghabiskan satu
halaman lebih untuk mencatat di halaman serta jilid berapa saja kota ini disebut. Belum
lagi catatan Ibn Duqmaq (w. 809 H.) di al-Intisar li Wasithat ‘Aqdil Amsar
yang mengulas Dimyat dari sejak disebutnya di masa Nabi, juga tentang kisah
Nabi Idris yang menerima suhuf akhirnya di kota berinisial “dal”, “mim”, “tha”
yang tak lain adalah Dimyat.
FOTO Lukisan yang menggambarkan Louis IX
di Dimyat saat Perang Salib ke-7, 1249. | photo: wikipedia.
|
Di masa Ayubi, kota
teras yang menghadap Mediterania menjadi kota
yang sangat penting bagi pertahanan menghadapi pasukan Salibis. Aleksandria,
Dimyat, dan kota
kecil Rashid merupakan teras Mesir. Kota
di mana “para tamu” baik yang diundang atau tidak menginjakkan kaki pertama
kali. Di masa Mamalik, pada era Sultan Ashraf Barsbay hendak merebut pulau
Siprus, basis militer pasukan saat itu ya di kota tepian Mediterania ini.
“Ayok foto bareng!”, ajak salah
satu dari kami setelah sedari tadi semua sibuk dengan foto masing-masing. Foto
sempat gagal beberapa kali sebab pengunjung lain menyapa ramah, belum lagi lalu-lalang
yang menutup angle yang kami pilih.
bersambung ke Burullus...
bersambung ke Burullus...
Write a comment
Post a Comment