Menjelajah Dua Muara Nil: Desa Semangka (2)

Desa Semangka
Selama 5 jam perjalanan ke Dimyat kereta kami melewati berbagai daerah yang hijau sepanjang Nil (cabang Dimyat). Kami melewati Tanta dengan sekilas pemandangan masjidnya yang asri, masjid Sidi Ahmad Badawi, juga kota Mansurah yang mengingatkan kami pada perempuan berpengaruh Shagar ad-Durr yang hendak membawa pulang suaminya yang meninggal, Sultan Salih Nagm ad-Din Ayyub (Bapak Dinasti Mamalik).

Kami melewati kota-kota di pelosok yang sama sekali belum pernah kami tahu seperti Shirbin menjadi nisbat Shirbini di beberapa nama ulama terkemuka, seperti pengarang Mughnil Muhtaj Syekh Khatib as-Shirbini atau Grand Syeikh ke-27 Syekh Abdurrahman as-Shirbini.

Ada juga nama daerah yang unik seperti Kafr al-Battikh. “Kafr” bermakna desa atau daerah pelosok yang lebih tinggi dari yang lain, berbeda dengan istilah “Mit”, “Qoryah”, atau “Tsaghr” yang kesemuanya juga mempunyai makna umum desa/daerah di pelosok. Sementara, “Battikh” bermakna semangka. Ya, Desa Semangka. Kami hanya bisa tertawa dan menerka barangkali daerah itu penghasil semangka nomer wahid hingga menjadi nama resmi daerah.

FOTO Di depan stasiun Dimyat, sehabis salat. | by Qalam Eka Maulana.
Kami sampai di stasiun akhir, stasiun Dimyat. Sesampai di sana, kami segera mencari masjid. Selain waktu sudah semakin sore, wajah kami juga serasa sudah terlalu berat membawa debu. Rasanya seperti memakai bedak sekian centimeter. Tujuan kami masjid hingga bisa berwudu, salat, dan beristirahat sejenak.

“Kalian setelah ini hendak ke mana?”, tanya Mohammad, teknisi pelabuhan yang kami temui di gerbong kereta.

Ia lantas menunjukkan arah masjid dan jalur angkutan yang harus kami tempuh untuk sampai Ras al-Bar, muara Nil tempat bertemunya sungai dan laut. Orang sini menyebutnya “bughaz” dan seringkali diikuti ayat “marajal bahrayn” (bertemunya dua laut; bahr sungai dan bahr mutawassith).

Setelah salat jamak dan qasar di masjid modern di tepi Nil, kami sempatkan bertanya lagi tentang angkutan apa yang bisa mengantarkan kami menuju muara Nil di kawasan bernama al-Lisan. Setelah puas bertanya, kami juga menanyakan bagaimana cara menuju Rashid. Pertanyaan kedua ini hampir kesemua orang yang kami tanya, tak satupun yang memberi jawaban pasti. Semua hanya bertanya balik kenapa kami ke sana. Malah ada seorang bapak yang menyarankan kami untuk kembali naik kereta dan balik ke arah Kairo, turun di Mansura atau Damanhour untuk bisa ke Rashid. Kami cukup mengiyakan dan segera menuju Ras al-Bar. Soal bagaimana nanti ke Rashid belakangan saja.

FOTO Pesona sungai Nil (cabang Dimyat) menjelang berakhirnya perjalanan panjang melintasi sebelas negara, untuk bertemu dengan Mediterania. | captured by Qalam Eka Maulana.
Setelah berjalan cukup jauh untuk sampai di terminal khusus menuju Ras al-Bar, kami mulai sadar bahwa terminal di daerah berbeda dengan di kota. Di sini terminal disediakan khusus sesuai jurusan dan letaknya berjauhan. Misal saja terminal angkutan tujuan Mansurah terletak jauh sekali dari terminal jurusan Aleksandria, belum lagi terminal dengan jurusan kota-kota lain. Kalau tidak benar-benar berinteraksi dengan sering bertanya, kami tak akan tahu di mana angkutan yang akan membawa kami ke tujuan.

Marajal Bahrayn
Kami sampai di sebuah kawasan yang bernama Lisan, Mantiqat al-Lisan. Kawasan di muara Nil (cabang Dimyat) yang ramai diisi villa-villa rapi berjejer. Semua pantai dan tepi laut terbuka untuk umum. Tidak ada pantai yang “dikaveling” seperti di Aleksandria. Semua bebas keluar masuk, mandi, bermain pasir, atau sekedar duduk menikmati ombak yang anggun.

Kami terus saja berjalan mencari di mana muara Nil cabang Dimyat. Di mana bertemuanya dua laut ini. Orang Mesir lebih umum menyebut sungai Nil (nahr nil; bahasa Arab) dengan “bahr Nil”, menyebut sungai dengan “bahr” bukan “nahr”. Lantas, di manakah bertemunya dua laut ini?

FOTO Di atas kompas dekat monu-
men Ras al-Bar, Dimyat. | by Qalam Eka Maulana.
Sampailah kami di sebuah monumen menandakan berakhirnya perjalanan panjang sungai Nil melewati 11 negara. Salah satu sungai terpanjang di dunia yang menjadi sumber-air utama bagi 8 negara.

Kawasan yang bersih ini memanjakan kami berlima dari penatnya perjalanan. Taman, mercusuar, dan orang-orang sekitaran yang sedang berlibur menikmati indahnya Mediterania, semuanya seolah mengucapkan selamat datang di teras Mesir. Ada 21 bendera tiap provinsi di Mesir berkibar terletak tak jauh dari monumen.

Sejenak, angin yang berhembus mengingatkanku pada nama Dimyat yang sering sekali disebut dalam catatan-catatan sejarah. Di Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur milik Ibn Iyas saja lebih dari seratus kali disebut, di indexnya menghabiskan satu halaman lebih untuk mencatat di halaman serta jilid berapa saja kota ini disebut. Belum lagi catatan Ibn Duqmaq (w. 809 H.) di al-Intisar li Wasithat ‘Aqdil Amsar yang mengulas Dimyat dari sejak disebutnya di masa Nabi, juga tentang kisah Nabi Idris yang menerima suhuf akhirnya di kota berinisial “dal”, “mim”, “tha” yang tak lain adalah Dimyat.

FOTO Lukisan yang menggambarkan Louis IX 
di Dimyat saat Perang Salib ke-7, 1249. | photo: wikipedia.
Di masa Ayubi, kota teras yang menghadap Mediterania menjadi kota yang sangat penting bagi pertahanan menghadapi pasukan Salibis. Aleksandria, Dimyat, dan kota kecil Rashid merupakan teras Mesir. Kota di mana “para tamu” baik yang diundang atau tidak menginjakkan kaki pertama kali. Di masa Mamalik, pada era Sultan Ashraf Barsbay hendak merebut pulau Siprus, basis militer pasukan saat itu ya di kota tepian Mediterania ini.

“Ayok foto bareng!”, ajak salah satu dari kami setelah sedari tadi semua sibuk dengan foto masing-masing. Foto sempat gagal beberapa kali sebab pengunjung lain menyapa ramah, belum lagi lalu-lalang yang menutup angle yang kami pilih.

bersambung ke Burullus...

Write a comment