Tentang Ziarah dan Makam Ibnu Hajar

Ziarah adalah bukan semata perkara zahir. Bahkan lebih pada peningkatan kualitas batin seorang muslim yang masih hidup di "dunya" — الحياة الدنيا (kehidupan yang pendek) yang dekat dengan kematian.

Suatu hari, saya dan kawan-kawan berziarah di sebuah makam sahabat Nabi. Demi membaca Alfatihah, lewatlah seorang Mesir berteriak, "Apa yang kau lakukan? Kau meminta kepada orang yang sudah meninggal? Dan itupun makamnya salah. Tidak ada yang dikuburkan di sana, Anak Muda!". Teriakannya kencang seolah menghardik anjing yang mencuri makan siangnya.

Kami hanya menjawab sekenanya toh dia hanya lewat. Di dalam obrolan kecil, kami justru menghardiknya lebih keras, mengembalikan tuduhannya. Bahwa kami bukan sedang meminta pada mayat apalagi menyembahnya. Juga kami sudah paham bahwa makam tersebut memang diperselisihkan kebenarannya.

Ada lebih dari 7 versi makam seorang sahabat yang dimaksud, salah satunya ada di Mesir dan kami sudah paham bahwa "keberadaan jasad" di makam ini memang diperselisihkan.

Kami menziarahinya sebab kami melihat namanya. Sejenak mengirim Alfatihah kepada yang punya nama, bukan pada tempatnya. Juga barang sepeminuman kopi membaca biografinya. Berdoa berharap mendapat nilai positif dari jalan hidupnya, juga berharap ia senang mendengarnya bahwa ada sekelompok manusia yang menjadi berusaha berlaku baik sebabnya. Pahala baik sudah lebih dari cukup bagi seorang sahabat Nabi yang tidak menemui zaman gajet. Kita yang berharap ialah yang mendoakan kita.

Lalu kembali mengingatkan diri bahwa hidup di dunia tidaklah lama. Bahwa sejatinya hidup adalah bukan di sini sekarang. Kita adalah manusia dari alam sana yang hendak kembali ke sana. Sepelemparan batu dari kita lahir menuju nafas terakhir.

Mari berziarah!
• • •
FOTO: Bagian dari event ziarah kompleks Imamayn: Imam Syafii & Imam Layts yg dimotori Jamiyah Qurra wal Huffaz NU MESIR @numersir. Di depan makam ahli hadits Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, penganggit Fathul Bary, Syarh Sahih al-Bukhari.

Write a comment