Adik Saya Bercerita tentang Kelasnya

Guru yang menurut saya asyik ialah ia yang menyisipkan intermezo dalam pelajarannya. Di sini saya ingin berbagi kisah adik saya dengan gurunya.

Ghada. | wide image
―Ghada, gadis kecil yang pernah saya kisahkan.

Beberapa minggu ini saya berkesempatan mendampingi adik saya mempersiapkan pelajaran untuk kelas esok hari. Salah satu kelasnya diampu oleh seorang syekh yg masyhur dengan keluasan ilmunya dan ketelitiannya. Ialah Syekh Sa'id Al-Kamali yg juga masyhur di platform YouTube dengan pengajiannya.

Dari cerita adik saya, beliau sosok pengajar yg disiplin. Salah membaca barang harakat, ketukan di atas mejanya 'kan terdengar seisi ruangan. Tanda bahwa murid yg ditunjuk membaca harus tahu-diri ia telah salah.

Bacaan dilanjutkan kawan lainnya. Jika masih salah membaca maka giliran membaca bisa memutar ke seisi kelas hingga lebih dari sekali putaran.

Ketelitian lain yg juga dituntut dari para murid selain harakat (i'rab) adalah perbedaan hamzah. Seorang murid yg membaca hamzah dengan tak melebur padahal ia membaca kalimat nyambung dan yg dihadapi adalah hamzah wasl, siap-siap saja 'dihadiahi' ketukan.

Kemarin malam, adik saya berkisah betapa bahagianya ia saat namanya disebut. Saya ikut bahagia atas kebahagiaan yg sudah selayaknya hadir pada diri murid. Setidaknya hal itu bisa jadi salah-satu alamat kecintaannya kepada gurunya, pada alim, dan pada akhirnya juga kepada ilmu hingga dimudahkan memperolehnya.

Ia juga berkisah bahwa pada suatu intermezo dalam kelas sang guru bercerita tentang manisan (halawiyat) khas Negeri di Ujung Barat Keislaman, Maroko. "Wardah! Kamu tahu Ka'b Ghazal? Pernah mencicipinya?" Wajar jika soalan itu tertuju pada adik saya yg hanya satu-satunya murid non-Maroko di kelasnya dan datang dari Asia nun jauh.

"Jika belum pernah, kamu harus mencobanya! Bawa manisan itu sebagai oleh-oleh untuk keluargamu saat pulang." Syekh Al-Kamali berpesan.

Saya semakin terang melihat sosok beliau yg perhatian terhadap wawasan (ats-tsaqafah) muridnya.

Makanan adalah salah satu hal yg remeh tapi ia bagian dari mengenal keragaman budaya suatu bangsa. Rugi serugi-ruginya pencari-ilmu yg rela pergi ke dunia keterasingan, meninggalkan kenyamanan di rumah, lalu merantau di belahan bumi lain tapi ia tak memperluas wawasannya, mengenal kearifan lokalnya.

Menurut saya, pada hal ini makanan memanglah benar pintu termudah, semudah kita mengucap basmalah lalu mengecap dan mencicip makanan. Urusan bagaimana lidah kita menilai itu lain hal. Tapi pengalaman itulah yg mahal.

Syekh Al-Kamali bahkan kembali menegaskan dan memungkasi intermezonya dengan berkata, "Jika hendak pulang dan tak ada uang untuk sekedar membeli Ka'b Ghazal itu, bilang pada saya. Saya kasih uang untuk membelinya."

Semoga adik saya dan seluruh kawan-kawan saya dimudahkan dalam meraih ilmu, memperluas wawasan. Pahitnya keterasingan (al-ghurbah) 'kan Allah ganti dengan manisnya hidup dengan ilmu. Dan yg pasti, ketika benar menjadi ahli ilmu, maka marilah kita juga tak lupa bahwa ada 'al-khasyah' (ketakwaan) yg selazimnya melekat pada dirinya.

Allahumma jaya untuk semua! Amin.

Write a comment