*(telah dimuat di Harian Berita Metro Surabaya, dibuat menjadi dua bagian, Sabtu, 2 Februari 2013 dan 9 Februari 2013)
“Mamas’e dulu kan sering manggung.. Jadi, yaa dari situ lah bisa masyhur. Apalagi didukung dengan suara yang sama nggantengnya dengan muka mamas’e ini. Tahu sendiri lah, hehe..,”
“Mamas’e dulu kan sering manggung.. Jadi, yaa dari situ lah bisa masyhur. Apalagi didukung dengan suara yang sama nggantengnya dengan muka mamas’e ini. Tahu sendiri lah, hehe..,”
Ya. Waktu itu, aku tergabung dalam IPQI (Ikatan Pelajar
Qori’ Indonesia). Karena saking masyhurnya, sekelompok mahasiswa tanah
air yang tergabung dalam komunitas ini sering mendapat undangan dari
berbagai pelosok negeri. Helwan, Aswan, Isna, ataupun Bani Syuaib sudah
pernah kami singgahi. Tak jauh dari nama komunitas kami, qori’.
Begitulah. Kami melantunkan ayat-ayat al quran di berbagai acara.
Undangan di daerah Aswan begitu mengesankan. Lebih-lebih,
kami dipertemukan dengan pak gubernur, Syeikh Umar Hasyim, dan seorang
habib yang hubungan darahnya paling dekat dengan Rasulullah pada masa
itu. Kami bersama satu ruangan dalam jamuan acara itu. Mengesankan.
Membuat hati ini terkadang menjadi sesak bangga. Bagaimana tidak?
Masyarakat berderet puluhan meter untuk ngalap barakah dari habib
tersebut. Sedangkan kami? Kami dengan sangat mudah mendekati beliau.
Bukan hanya berjabat tangan, kami dijamu dalam satu ruangan bersama
tokoh-tokoh besar lainnya.
Itu yang benar-benar menyesakkan dada dengan bangga. Ada
juga yang membuat hati ini senantiasa bertahmid sembari tersenyum kecil
tatkala melihat gambaran-gambaran kenangan itu muncul untuk diceritakan.
Sarah. Gadis belia Mesir yang duduk di bangku tsanawiyah
(setingkat SMA di Indonesia) termasuk dalam rombongan dalam satu ruang
jamuan. Komunitas teater yang ia ikuti juga diundang dalam acara
tersebut. Ia gadis yang paling cantik dari semua gadis cantik dalam
rombongannya. Ya. Memang sulit sekali memberi predikat jelek bagi
gadis-gadis Mesir. Entah kenapa. Nampaknya, Sarah tahu dan meyakini
kecantikan yang ia miliki. Senyum-senyum manis yang selalu berusaha
untuk disembunyikan dan gelagatnya yang lebih menjaga setiap geriknya,
mudah sekali dibaca.
“Dia itu baca puisi sambil memerankan seorang ibu-ibu
Palestina yang menggendong anaknya.. Gila, bener-bener gila pokoknya.
Cantiknya itu lho.. Auranya beda dari yang lain.. Tadinya tak kirain
sama seperti temannya yang lain. Ternyata dia tampil sendiri. Bukan main
cantiknya,”
Pengaruh kecantikan Sarah pun secepat kilat membuat
suasana teman-temanku tidak karuan. Mulai dari kusuk-kusuk perbincangan
dengan bahasa Indonesia yang tidak mungkin mereka pahami hingga
foto-foto yang sebenarnya lebih mengarah ke siapa yang ada di belakang.
Aku hanya bisa mangkel dengan perilaku teman-teman yang menjepret
sembarangan tanpa ijin itu. Jiwa tak ingin kalah saingku kumat.
“Gimana caranya aku bisa dapat nomernya. Aku ndak akan ikut pulang sebelum dapat nomer gadis itu,”
“Kamu kira aku langsung tau namanya gitu? Sarah? Yaa ndak lah..,”
Awalnya, aku berkenalan dengan salah satu temannya.
Dengan lagak tidak paham dengan puisi yang dibawakan gadis cantik yang
saat itu tampil di panggung sendirian, aku bertanya pada Hajar, nama
teman Sarah. Tentunya dengan trik menarik simpati gadis Mesir. Bicara
perlahan, jelas, dan lebih memilih diksi fusha daripada amiyah.
“Itu apa sih maksudnya? Apa yang dia lakukan itu?”,
sambil nada benar-benar nol paham apa yang dibawakan Sarah dalam
panggung.
“Isi puisinya itu gimana? Tentang apa sih?”, sergahku.
Hajar dengan riangnya mengejawantah apa yang dibawakan
Sarah meski aku pun sebenarnya tahu apa yang sedang disuguhkan di
panggung. Dengan sigap aku bertanya,
“Itu juga teman kamu ya? Yang tadi bawain puisi itu lho..
Hebat ya? Siapa namanya?”, jurus pelan tapi pastiku mulai aku
canangkan.
Ngalor-ngidul Hajar menjelaskan semua yang aku tanyakan hingga pada apa yang sudah aku tunggu sedari tadi.
“Namanya Sarah,”
Senang sekali. Entah kenapa. Seperti ada yang membuat
hati ini begitu ‘waahh’. Senyum, senyum, berkali-kali senyum aku
selipkan di tengah ngobrol dengan Hajar. Hingga menuju kamar penginapan
yang disediakan panitia acara pun aku masih asyik dengan senyum riangku.
Sarah.. Sarah.. Sarah.. Yes. Nama sudah beres. Aku tetap tidak lupa
dengan tujuan awal; aku dapatkan nomer hapenya.
Saat itu waktunya sholat, kebetulan di 2 hari menjelang
akhir acara besar-besaran itu kami dan semua tamu undangan digabungkan
dalam satu gedung. Semuanya. Tak terkecuali rombongan Sarah.
“Gimana caranya aku bisa liat Sarah, bertatap muka langsung? Yaa meski hanya lewat depan kamar rombongannya itu..”
Akhirnya aku memutuskan bergegas pulang dari masjid
menyendiri. Aku sengaja lebih dulu dari teman-temanku, rombongan IPQI
dan beberapa pemuda Mesir yang ternyata bagian dari komunitas teater
Sarah juga Hajar. Aku melangkah dengan sejuta harap.
“Kaget! Kaget sekali.. Dia mendekat ke aku.. Gadis yang
kemarin aku takjubi dari kejauhan itu sekarang mendekat! Dekat sekali.”
Mukaku memerah. Memerah bersama hawa desir desak di dada.
Masuknya huruf-huruf dari kata yang diucapkan Sarah sangat lambat
berjalan melewati telinga. Sampai aku tanya dua kali.
“Eih? Ma’leisy, eih?”,
“Andak Mir’ah? Mir’ah.. ”
Aku tak bisa langsung merespon. Bodoh sekali. Seketika
aku menjadi bodoh sekali. Memahami kata mir’ah saja tidak bisa. Lama
sekali aku belum maksud dengan apa yang ditanyakan.
“Apa ya? Mir’ah itu apa ya?”, tanyaku dalam hati sambil terus mengingat-ingat.
Oh, iya.
“Ma’lesiy, yaa anesah. Maa fisy. Aku tidak membawa cermin.”
“Oiya tidak apa-apa. Santai aja.. Tidak apa kok,”
Bagaimana aku tidak malu? Teman-teman Sarah yang lain
sedang duduk santai berkumpul di belakang persis. Semua kejadian datang
tiba-tiba sekali. Yah sudah lah.
Di dalam kamar aku cekikikan sendiri, senyum-senyum.
Mengingat rencana awal pulang dari masjid ternyata dikabulkan Tuhan Sang
Maha Cinta. Bukan hanya melihat, Sarah mendekatiku dan malah berbicara
langsung padaku. Hehehe..hihihi..
“Alhamdulillah meski harus menahan panasnya mukaku yang memerah tadi,” batinku bersama senyum.
Di hari akhir, sewaktu mobil panitia yang hendak
mengantarkan kami ke stasiun siap berangkat, aku belum juga mendapatkan
apa yang aku tuju dari awal, nomer telpon Sarah. Teman-teman memasukkan
barang bawaannya satu persatu ke dalam mobil. Aku memilih jalan nekat.
“Akan aku dekati Sarah. Aku mau langsung ngomong sama dia.”
Meski klakson mobil sudah beberapa kali memperingatkan aku
untuk segera menyusul, aku tak peduli. Aku keluar dengan membawa barang
bawaanku perlahan. Mataku sambil mencari dimana hafidzah si empunya
paras cantik itu. Sesuai dengan apa yang aku lihat dari auranya. Aku
mendapat info dari teman Sarah tentang ia yang sudah hafal al quran
sejak kecil. Benar. Auranya bukan hanya cantik sembarang cantik.
Aku melihatnya.
Aku melihat Sarah bersandar di tembok depan kamar penginapan itu. Tanpa keraguan, aku melangkah berusaha lebih dekat.
“Aku akan kembali ke Kairo. Kamu juga pulang ke daerahmu. Kita
tidak akan bertemu untuk kedua kalinya. Ini pertemuan kita yang pertama
dan terakhir. Apa kamu tidak ingin minta nomer telponku untuk sekedar
berbincang?”, dengan bahasa Arab perlahan dan jelas.
Aku menunggu jawabannya.
“Masyi.. Iya, tentu aku ingin minta nomermu..”
Aku kaget bukan kepalang. Ternyata kepedeanku terbalas dengan keindahan.
Aku mengeja nomer telponku. Ia memasukkan digit-digitnya.
Kemudian, ia bertanya. Dan kalimat terakhir itu yang sampai sekarang terus merupa senyum kenangan yang tak terlupakan.
“Boleh aku misscall? Tapi jangan diangkat ya,”, katanya dengan semi manja khas gadis Mesir.
Nomer Sarah masuk di hapeku. Nomer itu.. Nomer yang aku sudah
bertekad tidak mau pulang tanpanya. Tak bisa aku menahan riang. Senyum
mengembang dari sudut bibirku. Dadaku sesak. Dan aku tidak pernah
sebahagia ini. Oh, Tuhan.. Terima kasih..
Saat aku hendak masuk mobil ternyata teman-teman keluar satu
persatu sambil sedikit kesal bercampur iri. Senda-sindir di dalam mobil
pun riuh mengantar kami ke stasiun. Aku sudah tak berpikir tentang apa
yang mereka katakan. Yang ada dalam benakku sekarang, aku sampai rumah
kemudian mencari tempat strategis untuk mengawali telponku.
***&***
Aku terus didesak oleh pertanyaan sejenis yang dilontarkan Syahid sedari tadi.
“Yaa gitu, hid.. Aku sih bukan bermaksud serius. Aku cuma ingin tau bagaimana karakter cewek Mesir, gitu tok..”
“Terus gimana?”
“Terus, terus? Terus gimana, mas?”, tanya Syahid diulang dalam beberapa tempo jeda aku bercerita.
###
Hubunganku dengan Sarah terus berlanjut jauh, jauh
sekali. Iya. Semenjak dari Aswan, sampai di rumah itu aku terus
berhubungan dengan Sarah melalui telpon.
Setiap hari menjelang malam aku menyisihkan waktu untuk berbincang dengan Sarah. Entah apa saja yang sudah terbahas.
Suatu kali, kata-kata yang membuat aku bergetar muncul.
Sebenarnya mungkin biasa bagi sejoli yang sedang merangkai asmara. Tapi,
ini begitu istimewa bagiku. Bagaimana tidak? Diucapkan dari gadis
Mesir. Gadis yang kecantikannya banyak menjadi wirid bagi mahasiswa baru
dari luar Arab.
“Subhaanallah, cantiknya.. Widih, widih ayune, rek.. Ckckck, Gustiii.. gustii.. Ayune, cah..”
Apa yang Sarah katakan padaku di penghujung telpon malam itu?
“Wahisytanii awiy, aku sangat merindukanmu..”
Aku tercengang. Sadar. Kembali tercengang lagi..
Bukan hanya itu yang membuatku bengong bin ndomblong. Di
beberapa kesempatan, Sarah memperkenalkan keluarganya padaku. Yaa, meski
hanya lewat telpon. Semuanya ia kenalkan padaku, ibunya, ayahnya,
bahkan pamannya. Dan itu yang aku belum tau apa dibalik semua pada waktu
itu. Ternyata, bagi sebagian besar gadis Arab yang sudah serius memilih
pasangannya untuk menikah maka ia akan memperkenalkannya pada keluarga
besar tanpa malu-malu. Bahkan, setiap kali aku telpon pasti ia
senggangkan sapaan ibunya atau ayahnya untukku. Sampai suatu saat, ibu
Sarah berpesan padaku,
“Yaa, sudah, le.. teruskan belajarmu.. Jaga kondisimu,
siddi haalak..”, pesan ibunya sebelum telpon genggamnya dikembalikan
pada Sarah lagi.
Aku merasakan hal yang wajar pada saat itu. Aku tidak tau isyarat apa yang Sarah dan keluarganya berikan?
Betapa bodohnya aku. Itu yang terus aku sesali pada
jawaban yang aku lontarkan pada ibu Sarah pada suatu perbincangan.
“Nanti kalau sudah selesai belajar di al Azhar, apa kamu
mau kembali ke negaramu, le?”, tanya ibu Sarah dengan bahasa Arab
tentunya.
“Iya, bu. Aku tidak mungkin di Mesir untuk selamanya.
Lantas, aku jauh-jauh dari asalku untuk menuntut ilmu dan aku tidak
berniat kembali? Bagaimana bisa ilmuku bermanfaat, bu?”, jawabku.
Semenjak saat itu, ibu Sarah tidak pernah ngobrol
denganku lagi. Ada hawa tidak enak yang juga aku rasakan dari jawabanku
serta pertanyaannya. Memang, sangat sulit bagi orang Mesir untuk melepas
anak gadisnya dibawa ke luar negaranya. Mungkin, hanya 1 dari 1000
orang tua dalam tempo 1000 tahun. Itu yang menambah aku semakin merasa
tidak enak dengan jawabanku. Apalagi, aku menggunakan nada yang sangat
mantap pada saat itu. Tapi, tak apalah. Hubunganku dengan Sarah masih
terus berlanjut. Kemesraan demi kemesraan kami jalin tiap telpon hingga
aku benar-benar memaki pada dunia.
Hapeku rusak. Semua harus diinstal ulang dan aku lupa
menyalin semua nomer telpon yang ada di hape. Tak terkecuali nomer
Sarah. Hilang. Hilang sudah.
Hari-hariku kini sudah tidak bisa seperti kemarin. Hilang
semua kemesraan bersama hilangnya data-data di hapeku. Aku hanya bisa
memaki pada hari, pada tanggal, pada waktu, pada diriku sendiri. Memaki
dan mengumpat tanpa henti.
Namun, suatu hari aku dengar ada temanku yang masih
menyimpan nomer telpon salah satu rombongan Sarah dan komunitas
teaternya. Senang sekali. Bunga-bunga senyum kembali merekah seolah baru
menggeliat setelah bibit dari bunga mati tumbuh dan mendapat anugerah
percikan air.
“Iya kan, mad? Masih punya kan?”, tanyaku pada teman yang juga ikut rombongan IPQI ke Aswan dulu.
Awalnya aku agak menggerutu. Bagaimana tidak? Nomernya
ternyata punya teman pria Mesir yang memang serombongan dengan Sarah.
Masih ada secercah syukur yang mendorongku untuk terus bagaimana caranya
bisa kembali berhubungan dengan Sarah.
“Gimana kabar, Ibrahim? Baik kan? Iya nih.. Nomer teman-teman yang dulu di Aswan hilang semua..”
Aku terus mencari jalan bagaimana kembali mendapat nomer
Sarah. Aku tidak mungkin langsung menanyakan nomer Sarah. Hal itu akan
menjadi bumerang bagiku. Pemuda Mesir sangat tidak suka apabila ada
orang luar berhubungan dengan gadis asli Mesir. Aku menyiasati dengan
basa-basi menitipkan salam untuk semua teman dari Aswan. Ibrahim
memberiku banyak sekali nomer telpon. Tapi, kenapa tidak ada yang cewek?
Bagaimana ini? Oh, yes! Ternyata ada nomer Hajar di situ.
Selanjutnya aku menghubungi Hajar. Harapan untuk kembali
mendapatkan nomer Sarah terus menggebu Basa-basi ngalor-ngidul. Beberapa
kesimpulan aku dapat dari awal aku ngobrol dengannya dulu. Hajar gadis
yang tak kalah agamis laiknya Sarah. Kejuaraan-kejuaraan hapalan quran
juga sering ia sabet bahkan sampai tingkat nasional di Mesir ini.
“Hmm, kamu ingat teman kita dulu yang apa namanya? Hmm..
apa itu? Yang akting jadi ibu-ibu Palestin? Iya kan?”, tanyaku penuh
selidik dan pura-pura bodoh dengan bahasa Arab yang aku buat seolah
terbata-bata.
“Iya, yang membawakan puisi itu kan? Sarah itu.. Kenapa?”, sergah Hajar.
Perbincangan aku dan Hajar berlanjut. Perlahan aku
menanyakan kabar Sarah. Nomernya pun aku dapat lagi di akhir
perbincangan. Senang. Senang sekali rasanya..
Seketika itu aku menghubungi Sarah. Menjalin tali mesra
yang sempat terulur dengan hilangnya nomer Sarah di hapeku. Malam-malam
kembali seperti malam-malam yang aku telah lama impikan. Dengan senda
tawa gadis Mesir, dengan kisah-kisahnya, dan dengan kemesraan yang Sarah
bingkis tiap kali menjalin kontak.
Tapi, kali ini aku agak merasa ada yang beda. Sikapnya
berbeda. Bukan sikap Sarah. Sikap gadis yang memberitahu nama Sarah
padaku.
Ya. Hajar. Hajar semakin sering menghubungiku siang malam tak
mengenal waktu. Bahkan lebih intens dari Sarah. Aku tak menganggap risih
ataupun timbul rasa. Karena dari awal memang aku blak-blakan dengan
Hajar begitu juga sebaliknya. Suatu hari, ia juga meminta dengan nada
polos supaya aku menjadi kakak baginya. Ia juga menceritakan
keinginannya melanjutkan kuliah di al Azhar. Semuanya, semua ia
ceritakan padaku. Aku pun bersikap biasa dengannya.
Waktu terus berjalan, aku dan Sarah kembali menjalin hubungan tanpa
ada rasa terganggu dengan sikap Hajar, malang kembali padaku. Hapeku
hilang pada saat aku naik tremco. Bukan hanya nomer hilang sekarang,
bukan hanya makian dan umpatan yang keluar. Aku sempat kacau dengan
masalah ini. Tak tahu harus bagaimana aku harus bertindak. Hilang.
Hilang sudah. Hilang untuk yang kedua kalinya dan mungkin untuk
selamanya. Ya, sudah lah.
Aku tidak bisa berhubungan dengan Sarah. Hajar juga tidak bisa
kembali banyak bercerita padaku. Hari-hari kembali pada masa aku sebelum
mengenal Sarah. Yang sekarang berjalan hanya tinggal aku dan waktu.
Pada suatu Jumat pagi aku teringat. Aku pernah bertukar
alamat email dengan Hajar. Rasa rindu pada Sarah dan kabar Hajar
sekarang muncul. Apakah aku bisa kembali menghubungi Sarah? Apakah
sekarang Hajar meneruskan studinya di al Azhar, Kairo?
Aku terhenyak. Terhenyak setelah aku membuka akun emailku yang sudah
lama sekali tak pernah aku buka. Di dalamnya ada sebuah email dari
Hajar. Tertulis jelas dengan tulisan Arab.
“Mas, kenapa aku tidak bisa lagi menghubungimu? Nomermu tidak aktif.
Bagaimana kabarmu sekarang. Aku sangat merindukanmu, mas. Sungguh.. Aku
merindukanmu. Aku ingin bisa kembali menghubungimu. Hubungi aku ya,
mas.. Aku menantimu. Aku mencintaimu.
Hajar, adikmu dari Aswan.”
Aku tak bisa mencerna-paham dari kalimat-kalimat itu. Apakah
yang rasakan berbeda dengan apa yang Hajar pikirkan? Apakah Hajar
memanggilku ‘mas’ dengan harapan aku bersamanya dalam satu rumah tangga?
Apakah ia berharap aku menjadi pasangannya? Lantas bagaimana dengan
Sarah? Menghubunginya pun tak bisa.
Aku membalas email itu dengan beribu kata maaf dan maaf. Aku
menceritakan semuanya tentang kenapa aku tidak bisa dihubungi. Lalu, aku
menyertakan nomerku yang baru.
Namun, hingga kini emailku belum juga dibalas. Hapeku juga tak
pernah menerima pesan atau telpon dari Hajar apalagi Sarah. Mungkin
Hajar lupa password akun emailnya -aku berusaha menetralkan prasangka-
atau ia tak sempat membukanya, karena jauh-jauh hari emailnya pun belum
terbalas olehku.
###
“Ayo turun, hid.. Sudah sampai Duwai’ah..”, sambil segera mendekat ke pintu depan mobil tremco.
Cairo, Egypt.
Rabu, 7 November 2012
aaaaaaaa mas mu'hid romantis sekali ceritanyaaaa
ReplyDeleteaku terharu bener bener terharu :)
semoga Allah mempertemukan kamu kembali dengan sarah..
aamiin :)
o iyaaa, ajari aku bahasa arab dooong mas. aku minim sekali pengetahuannya. hehheee
Aaaaaaaaaa, masa iya? hehe
ReplyDeleteAh, mba ini hiperbolis, ah.. :D
Lho, ingat lho ya, 'aku' dan penulis ialah wujud yang berbeda. hehe
Bahasa Arab? Oke, belajar lewat apa? Jarak yang memisahkan kita, mba'e.. Jadi sulit dong.. :D hahay
Uhiiiddd,,,
ReplyDeleteRomantis bangett,, penghilang rasa suntukkk
lanjuti kisahnya yaahhh
Sudah mentok, mba'.. Kalau dilanjutin nanti hambar kayak sinetron KCB tuh.. :)
ReplyDeleteAku tunggu kisah dari Maghrib lho, mba'.. Pengen ngerti..