Kairo adalah kota bersejarah. Gang-gangnya mengular membentuk labirin. Tapi di salah satunya saya punya cerita.
Jam dinding di rumah sudah hampir menunjuk jam 4 sore. Saya bergegas menuju pengajian mingguan Syekh Jamal Faruq. Baru saja saya melangkah dari mulut gang Kafr Zoughari, dua orang anak kecil memanggil saya dari belakang, "Bree! Sadiq!" Kata yg paling besar.
Ia yg paling besar kira-kira setinggi bahu saya. Padahal saya tidak setinggi itu dan anak Mesir tidak sekecil itu jika dibanding perawakan Asia. Mungkin ia seumur anak 4-5 Sekolah Dasar. Adiknya lebih kecil lagi. Entah juga apakah ia benar adiknya.
"Urid An Asbaqak", kata kakaknya saat masih di belakang langkah saya. Mungkin yg ia maksud "Urid An Asbiqak" -kasrah pada ain fiil- (Saya ingin menyalipmu) dalam Arab Fusha. Benar saja, langkah keduanya dipercepat hingga menyamai langkah saya.
Sambil terus melangkah, ia yg besar memperkenalkan diri, "Saya Muhamad dan ia Yasin. Esmak eih?" Katanya masih mencoba Fusha meski berujung dialek pasaran.
Saya tertawa ketika saya sudah menjawab namun ia beralih menggunakan bahasa Inggris. Di saat langkah saya yg terbilang cepat demi mengejar pengajian Syekh Jamal, keduanya terus mengimbanginya hingga sampai di sebuah gang cabang dari Kafr Zoughari.
Mereka melambaikan tangan pada saya. Lalu keduanya sibuk kembali berlomba melangkah cepat. Jajanan ringan yg mereka berdua bawa layaknya secarik kertas bergoyang ke segala arah. Sementara saat langkah semakin cepat, adu sikut adalah pilihan yang asyik bagi mereka.
Ia yg paling besar kira-kira setinggi bahu saya. Padahal saya tidak setinggi itu dan anak Mesir tidak sekecil itu jika dibanding perawakan Asia. Mungkin ia seumur anak 4-5 Sekolah Dasar. Adiknya lebih kecil lagi. Entah juga apakah ia benar adiknya.
"Urid An Asbaqak", kata kakaknya saat masih di belakang langkah saya. Mungkin yg ia maksud "Urid An Asbiqak" -kasrah pada ain fiil- (Saya ingin menyalipmu) dalam Arab Fusha. Benar saja, langkah keduanya dipercepat hingga menyamai langkah saya.
Sambil terus melangkah, ia yg besar memperkenalkan diri, "Saya Muhamad dan ia Yasin. Esmak eih?" Katanya masih mencoba Fusha meski berujung dialek pasaran.
Saya tertawa ketika saya sudah menjawab namun ia beralih menggunakan bahasa Inggris. Di saat langkah saya yg terbilang cepat demi mengejar pengajian Syekh Jamal, keduanya terus mengimbanginya hingga sampai di sebuah gang cabang dari Kafr Zoughari.
Mereka melambaikan tangan pada saya. Lalu keduanya sibuk kembali berlomba melangkah cepat. Jajanan ringan yg mereka berdua bawa layaknya secarik kertas bergoyang ke segala arah. Sementara saat langkah semakin cepat, adu sikut adalah pilihan yang asyik bagi mereka.
Mereka berdua menghilang dari pandangan lebih dulu dari suara tawa mereka. Saya masih mendengarnya perlahan hilang seiring langkah saya yg semakin jauh.
Kafr Zoughari yg berliku. Di sana ada kepulan asap keluarga Basmala yang punya warung daging Kuftah, bau kandang ayam di sampingnya, tukang sayur yg baru kemarin, rumah runtuh yg tak kunjung dibangun. Di gang itu juga ada banyak anak kecil berlarian sementara di suatu sudut masih tersimpan sebuah wadah kecil yg dipatenkan demi menampung air untuk minum anjing atau kucing jalanan.[]
Kafr Zoughari yg berliku. Di sana ada kepulan asap keluarga Basmala yang punya warung daging Kuftah, bau kandang ayam di sampingnya, tukang sayur yg baru kemarin, rumah runtuh yg tak kunjung dibangun. Di gang itu juga ada banyak anak kecil berlarian sementara di suatu sudut masih tersimpan sebuah wadah kecil yg dipatenkan demi menampung air untuk minum anjing atau kucing jalanan.[]
Write a comment
Post a Comment