Tradisi Ihtifal Pamit di Al-Azhar

Masjid Al-Azhar sejak dahulu menjadi tempat pertemuan banyak talib pendatang. Ada satu tradisi yang hingga kini masih diwariskan: Wada'an.

 

khitat | wide image
Kitab Al-Khitat Al-Tawfiqiyyah, jilid 4, hal. 29, cetakan Al-Amiriyyah. 
Dua malam yang lalu saya diundang ke wada’an (ihtifal pamit) acara kawan saya Rofi’, alumnus Lirboyo. Sementara malam setelahnya saya dan kawan saya Hafid bertandang ke wada’an Azka dan Azuma di Rumah Krapyak, Al-Ghuriyah. Mereka semua telah menamatkan kuliah di Al-Azhar dan hendak pulang ke tanah air.

Di tulisan singkat ini saya akan menyitir bagaimana pamit dan perayaannya itu sudah ada setidaknya sejak masjid Al-Azhar masih menjadi asrama dan belum diterangi lampu listrik.

Pamit atau acara pamitan di Al-Azhar terekam jelas di buku Al-Khitat Al-Tawfiqiyyah yang ditulis Ali Mubarak (wafat 1893 Masehi). Sebuah buku raksasa yang merekam wilayah-wilayah (topografi) di seantero Mesir. Panjangnya mencapai 20 jilid. Pada 6 jilid pertama dikhususkan untuk seisi Kairo saja. Buku ini disebut disusun di kurun 1872-1888 Masehi.

Pada bab ‘Awaid Ahli Al-Azhar (Tradisi-tradisi Penghuni Al-Azhar) di jilid 4, halaman 29, cetakan Al-Amiriyyah, tahun 1305 H./1888 M. menyebutkan sederet tradisi para santri di Al-Azhar. Nah, spesifik tentang wada’an (perayaan pamitan) ini berbunyi: 

وعادَةُ الشَّامِيّين إذا تَمَّمَ الواحِدُ مِنهم غرضَه وأرادَ السَّفَرَ إلى بلدِه أنْ يدعوَ أصدقاءَه ومُحِبّيه مِن الطَلَبَةِ والمَشَايِخِ، وقد أَوْقَدَ لَهُمْ الرِواقَ بالشُّمُوعِ وفَرَشَه بِقَدْر حالِه، فيَجْتمِعون عنده إلى ما شاء اللهُ من الليل، ويُطاف عليهم بالقَهْوَةِ والشَرَبات، ويُنْشِدُونَ بالمَجْلِسِ قَصِيْدَةً أو أكثرَ تَشْتمِلُ على مَدْحِهِ، والتَّنْوِيْهِ بغَزارَةِ عِلْمِه، وكثرةِ فَضْلِه، ثم يَنصرِفُونَ. —الخطط التوفيقية لـ علي باشا مبارك، جـ ٤، ص. ٢٩، ط. الأميرية

"Tradisi para talib dari negeri Syam. Apabila salah seorang dari mereka telah menamatkan tujuan (mencari ilmu) dan hendak pulang ke negerinya, ia mengundang kawan-kawannya, sahabat sejawatnya, serta para syekh. 

Ia menerangi riwaq (serambi/asrama) dengan lilin-lilin, menggelar tikar secukupnya untuk berkumpul bersama hingga waktu yang leluasa di malam itu. Kopi dan sirup-sirup manisan dihidangkan ke mereka. Di majelis (ramah tamah) itu pula mereka mendendangkan barang satu kasidah atau lebih yang berisi pujian, ekspresi tentang melimpahnya ilmu yang telah diraih, dan banyaknya keutamaan lain yang dimiliki. 

Kemudian para tamu beranjak pergi."

Pada redaksi Ali Mubarak dalam Al-Khitat Al-Tawfiqiyyah itu bisa sedikit menggambarkan bagaimana para talib pendatang di Al-Azhar begitu erat. 

Sangat mungkin bahwa yang terekam olehnya hanyalah para Mujawirin (talib/santri) di Riwaq Al-Syawwam yang dikenal sebagai asrama yang besar dan pada beberapa peristiwa menjadi pusat pergerakan. Tak menutup kemungkinan bahwa para talib pendatang juga merayakan hal yang demikian karena pada beberapa baris lain Ali Mubarak juga bercerita tentang ketimpangan talib pendatang dibanding talib Mesir. Para pendatang dikenal hidup lebih sejahtera dan berpenampilan lebih bersih dan rapi. 

Pertanyaan yang menarik untuk kita saksikan jawabannya ke depan adalah: apakah tradisi pamit Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) dan perayaannya akan bertahan? Ataukah akan berubah atau hilang tertelan era modern dan wabah?

Write a comment