Abdalraouf, Bapak Petualang

 |Bayt Al-Sinnari, Bapak Petualang, dan Masjid Fatima Shaqra' ~ Bag.2|

"Kamu mau ngapain?", tanya salah satu dari dua bapak yang tampak berbincang.

"Maaf, ya.. Di sini tidak boleh ambil gambar. Di sini sudah menjadi kantor pemerintahan, pokoknya tidak boleh ambil gambar di sini."

Seorang yang tampak lebih muda dari keduanya menghampiri, "Kamu mau buat apa fotonya? Diunggah ke internet kan? Sudah, kamu cari saja gambar-gambar tempat ini di internet. Sudah ada banyak di sana. Cari dengan kata kunci Tikiyye Sultan Muhammad Khan, gitu..".

Keinginanku masih belum reda. Segala cara 'meliuk-liuk' supaya dapat gambar dengan sembunyi-sembunyi sudah kucoba di awal hingga akhir. Nasib berkata lain. Hanya beberapa gambar yang selamat dan layak disimpan.

Aku memilih keluar, melanjutkan perjalanan pulang dari Sayyidah Zainab. Tepat setelah keluar dari pintu depan, aku yakin tidak masalah jika kuambil gambar pintu dan tembok luar saja. Ternyata, aku keluar tidak sendiri. Di belakangku ada salah satu bapak yang tadi berbicang bersama bapak yang pertama kali melarangku mengambil gambar.
Pintu Tikiyye Sultan Muhammad Khan. Captured by me.

"Kamu dari mana? Bangladesh ya? Atau Malaysia?" ia bertanya.

Tidak seperti biasanya, aku jawab serius kala itu sebab kurasa bapak ini orang baik. Setelah kujelaskan, bapak itu mengaku tahu sedikit tentang Indonesia. Ia juga menyebut Jakarta dengan logat Arab, tapi tidak seperti orang Mesir kebanyakan. Satu lagi: ia dengan bangga tahu sebuah nama Indonesia. Apa itu? Ahmed Sukarno.

"Kamu berapa kali ke sini? Oo, kalau begitu sama. Aku juga pertama kali masuk ke bangunan ini. Aneh itu orang, kenapa juga kita tidak boleh ambil gambar. Apa alasannya coba? Aku ndak paham apa yang mereka permasalahkan.", katanya padaku sambil sedikit melirik ke pintu yang masih terbuka tadi.

Obrolan kami sempat terhenti oleh suara azan asar saat itu. Lalu, masuklah pada perkenalan yang lebih dalam. Bapak itu bercerita tentang latar belakangnya, kampung halamannya, seolah ia sedang meluapkan rindunya pada negeri yang sampai sekarang masih ia pertahankan status kewarganegaraannya.

"Aku lahir di sebuah sudut di Gaza, Palestina. Yaa, sudah lama aku di sini. Istriku juga orang sini.", katanya sambil mengeluarkan kartu identitas, bukan paspor, hanya semacam KTP di Indonesia.

"Lihat, ini namaku: Abdalraouf Abdelrahman Abdrabbou.", katanya menunjuk kata pertama sebab kata kedua dan ketiga ialah nama ayah dan kakeknya.

Tidak lama sebelum ia memasukkan kartu itu ia menceletuk, "Wah, kamu ini jangan-jangan salah satu mabahits (baca: intelijen) kepunyaan Jenderal Al-Sisi ya? hehee Kok pakai ambil gambar kartuku segala.."

(kartu tanda pengenal. Captured by me)
Aku bilang padanya apa adanya bahwa aku hanya ingin mengabadikan apa yang menurutku menarik, terasa mengagumkan, dan tentu bapak ini salah satu yang mengagumkan. Kami tertawa meski suhu sore itu membuat keledai saja berteriak sambil menarik gerobak tuannya.

"Kamu tadi dari mana? Oya, kamu sudah ke mana saja coba? Jangan bilang kamu hobi ziarah dan mencintai bangunan-bangunan bersejarah jika kamu belum ke tempat ini," tanya Pak Abdalraouf.

Awalnya, ia menyebut beberapa makam ulama yang setiap belum selesai ia melanjutkan, aku susul dengan keterangan tempat dan daerahnya. Bagaimana tidak demikian? Lha wong, aku bisa suka dan mencintai bangunan bersejarah itu bermula dari makam-makam, dari ziarah bersama teman-teman. Kalau ditanya makam, bisa memuncak ini percaya diriku. Meskipun sebenarnya ya wawasan makamnya tidak seberapa luas jika dibandingkan beberapa senior. hehee

"Kalau begitu, kamu sudah ke Bayt Kretiliyeh? Ke Museum Jayr Anderson sudah? Kalau Museum Istana Abdeen sudah?", ia memberondong 5 nama museum yang menurutnya wajib dikunjungi. Aku lupa 2 nama yang ia sebut di belakang.

Ia tertawa lepas melihat aku menjawab dengan kata 'belum' sebanyak 5 kali dalam satu waktu. Mau bagaimana lagi, jika memang demikian? Satu kali pun belum. Ke Museum Abdeen Palace baru terkabul kemarin, belum lama.

Obrolan kami berlanjut pada hobinya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Mesir. Lalu, kubalas dengan cerita tentang komunitas pecinta sejarah dan pecinta ziarah yang baru-baru ini kembali bersemangat.

Ia menawarkan untuk bertualang bersama suatu hari. Kami bertukar nomer telpon.

"Atau begini saja, kamu datang saja ke rumahku. Sebentar ya..", ia mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari sakunya.

 Pak Abdalraouf menuliskan rute menuju rumahnya.
"Rumahku di Helwan, dari sini sekitar 3 jam naik kereta bawah tanah. Di dekat rumahku mengalir Sungai Nil yang kamu tahu sendiri seberapa pentingnya di Mesir ini.. Kamu tahu Hadaiq Helwan? Tidak jauh dari situ lah.. Aku tulis saja ya?"

"Ini.. Kalau nanti kamu sampai di mini-market ini, kamu masuk saja.. Tanya namaku pada kasirnya. Nanti ia yang akan memberitahu arah. Kamu datang ke rumahku, kita nge-shay (baca: teh) sambil ngobrol panjang lebar.. Jangan di sini ngobrolnya! Kita dari tadi ini sudah berdiri, sudah sore pula. Ajaklah 3-4 temanmu, nanti kutunjukkan betapa indahnya Nil."

Tak lama setelah semua petunjuk di catatan ia jelaskan, kami berdua berpisah dengan membawa senyum yang sama; senyum saat bertemu orang yang memiliki hobi sama. Aku tidak tahu harus bagaimana menggambarkan kegembiraanku, juga rasa terima kasihku pada kebaikan bapak ini.

Satu yang paling berharga kupelajari dari Pak Abdalraouf; tentang cinta tanah air.[]

Write a comment